Cepen "Novel"

by - November 27, 2016


Novel
Kubalikkan lembar-perlembar halaman novelku, saat itu sudah tiga jam sejak adikku tertidur. Aku tidak dapat menghentikan ini. Rasa ingin tahuku menyeruak hingga aku mengetahui akhir dari novel ini. Yah, memang beginilah kebiasaanku. Di kasur ini aku membaca novel yang tebalnya hampir lima sentimeter. Di sampingku, adikku yang kelas dua SD tampak menggeliat dalam tidurnya. “Semoga mimpi indah,” batinku disela membaca. Kembali kuteruskan membaca, sesaat aku mendengar suara-suara aneh dari dalam dapur. Aku tidak mempedulikannya dan melanjutkan membaca. Sudah empat perlima bagian yang telah kubaca. “Sebentar lagi selesai,” pikirku sambil tersenyum. Kembali kudengar suara-suara aneh, tapi kali ini bukan berasal dari dapur. Kuedarkan pandangan mataku ke arah luar kamar. Gelap, kamarku satu-satunya yang masih menyala. Mataku terasa perih saat mencoba memfokuskan pandanganku ke luar kamar. “Ah, sudahlah. Itu pasti suara tikus atau kucing tetangga,” aku berusaha menenangkan diri. Suara itu terdengar lagi. Kembali kulihat ke arah luar kamarku saat bayangan hitam tiba-tiba muncul dan melihat ke arahku sesaat. “Apa itu!” aku tersentak kaget. Aku berlari ke luar kamar mencari bayangan itu. Aku juga menyalakan semua lampu agar dapat melihat sosok itu. Jantungku berdebar kencang dan tubuhku menegang, perlahan aku berjalan ke arah pintu depan. Saat aku mencoba membuka pintu, ternyata pintu rumah dalam keadaan terkunci.  Kurasa maling sekalipun tak dapat masuk rumah ini, tapi tadi itu apa? aku kembali mencarinya, tapi tak menemukan apa-apa. Mataku terasa berat untuk terus mencari. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar, jantungku masih berdebar tak karuan dan perasaanku menjadi tak enak. Adikku masih tertidur pulas, aku duduk di sampingnya. Kulirik jam di depanku. “Jam dua malam, pantas saja aku jadi berhalusinasi begini …”
***
“Mbak, bangun!” teriak adikku sambil menggoyang-goyangkan badanku.
“Mbak, banguun! nanti telat, sekarang sudah jam setengah enam.”
“Apa?” teriakku tak percaya dengan yang apa yang kudengar. Aku langsung terbangun meski masih terasa mengantuk dan bergegas mengambil handuk
untuk mandi.
“Hei!” aku berteriak ketika adikku lebih dulu masuk kamar mandi.
“Siapa cepat, dia dapat.” Kata adikku sambil tertawa tidak jelas.
“Huh, dasar anak kecil!”  umpatku dalam hati. Aku kembali ke kamar, tak akan ku sia-siakan waktuku. Dengan cepat aku menjadwal pelajaranku hari ini, hari Jumat, dan memasukkannya ke dalam tas. “Bahasa Inggris, sejarah… apalagi, ya?” aku mencoba mengingat-ingatnya karena aku tidak mempunyai jadwal pelajaran. “Ah iya, ekonomii…” aku langsung memasukkan buku ekonomi ke dalam tas dengan malas, yah karena sebenarnya aku memang tidak menyukai pelajaran ekonomi. Setelah selesai menata jadwal pelajaran, aku berjalan ke kasur untuk merapikannya. Pertama, aku merapikan bantal dan menempatkannya ke tempat semula. Lalu aku menarik selimutku, aku merasa ada sesuatu yang jatuh. Aku melihat ke bawah dan langsung memungut benda itu. Melihat itu aku menjadi ingat kejadian semalam, tubuhku menegang. Aku merasa sesuatu memegang tubuhku.
“Mbak, aku dah selesai.” Kata seseorang di belakangku. Aku membalikkan badanku, “Ternyata Zidan, huh!” Aku terkejut sekaligus lega. Aku lalu bergegas melipat selimut dan meletakkan benda itu ke dalam rak buku. Setelah itu aku bergegas mandi. Selesai mandi aku langsung mempersiapkan diriku dan menyisir rambut panjangku lalu mengikatnya. Sekarang sudah jam enam pagi, aku bergegas memakai sepatu melihat adikku yang satunya lagi sudah menungguku di luar. Ibu telah menyiapkan sarapan, tetapi aku memintanya untuk dijadikan bekal di sekolah.  Setelah semua siap, aku pamit berangkat sekolah kepada ibu. Aku juga mencari ayah untuk pamit, tetapi ayah tidak ada di dalam rumah. Ternyata ayah ada di luar sedang berbicara dengan seseorang. Aku berjalan mendekatinya dan mendengar sedikit pembicaraan mereka.
“…bisa jatuh?” kata seseorang.
“Kurasa karena kucing atau anjing.” Kata ayah.
“Bagaimana bi–” orang itu berhenti berbicara saat melihatku berjalan ke arah ayah, “Sudah mau berangkat ya, dek?”
“Eh, emm iya, Pak!” kataku gugup kepada orang itu yang ternyata tetangga sebelahku. Aku langsung berpamitan dengan ayah dan tetanggaku. Di luar rumah sudah terparkir rapi sepedaku yang tadi disiapkan Ayah. Aku langsung menaiki sepeda sembari melihat tampang kesal adikku, Zidan, disampingku.
“Ayo berangkat, Dan!” Kataku sambil mengayuh sepeda.
“Lama banget, sih! Nanti aku te –”
“Iya, maaf.” Sengaja kupotong perkataan Zidan, adikku yang sekarang kelas 3 SMP. Kebetulan aku dan Zidan searah menuju sekolah. Tetapi aku kelas sepuluh, jadi aku tidak satu sekolah dengannya. Hanya saja sekolahnya lebih jauh dari sekolahku, itu yang membuatnya kesal padaku. Ia tidak mau telat sekolah, ia malu jika diketahui teman-temannya. Maklum, ia anak populer di sekolahnya. Tapi, yang unik darinya, ia tidak mau memakai motor ke sekolah yang menurut orang lain keren. Ia malah memilih berangkat naik sepeda. Baginya naik sepeda itu lebih keren dan menyehatkan. Yah, aku sendiri pun setuju Zidan naik sepeda, bukan karena kerennya, tapi karena dia belum punya SIM. Itu juga alasannku naik sepeda, selain itu aku bisa menikmati pemandangan indah ini dengan gratis selama perjalanan. “Ah, ini bukan waktunya memikirkan itu sambil melihat pemandangan. Bukan cuma Zidan yang telat aku juga bisa telat kalau begini terus,” batinku melihat kebodohan yang dari tadi kulakukan.
“Ayo, ngebut!” Kataku sambil mengayuh sepeda dengan cepat. Zidan mendengus mendengarnya.
“Dari tadi aku udah bilang itu,” Zidan mulai menyamakan kecepatannya denganku, “Ayo, lebih cepat lagi sekarang udah jam setengah tujuh!” teriak Zidan.
Mendengar itu aku pun mempercepat laju sepedaku lagi. Saat sampai di perempatan jalan, aku langsung belok kiri sementara Zidan tetap lurus.
Bye!” kataku sambil melambaikan tangan. Zidan membalasku dengan melambaikan tangannya juga kepadaku.
***
Aku tiba di sekolah bertepatan dengan bel masuk dan langsung bergegas memakirkan sepeda. Setelah itu aku berjalan cepat menuju kelas. Beberapa siswa lain juga bergegas menuju kelasnya. Di kelas aku langsung duduk dan mengelap keringatku. Saat itu juga, bu guru datang, ketua kelas pun langsung menyiapkan kelas. Lalu, Bu Eka, guru bahasa Inggris mulai mengabsen murid-murid.
“ … Bayu,”
“hadir, Bu!” Kata seorang siswa yang juga ketua kelas ini , kelas 1 B.
“Nana,”
“Hadir, Bu!” Jawab seorang siswi yang duduk di depan mejaku yang juga mengangkat tangannya.
“Dian,”
“Hadir, Bu!” Jawab seorang siswi yang lain.
“Karina,”
“Hadir, Bu!” Jawabku terkejut sambil mengangkat tanganku. Tak menyangka namaku dipanggil, ternyata Bu Eka mengabsennya secara acak. Dan, yaps! benar itulah namaku, lengkapnya Karina Ayu Mutia. Saat ini aku berumur 15 tahun. Bersekolah di sekolah biasa, jarang bicara kecuali dengan teman dekat atau dengan terpaksa. Karena aku lebih suka membaca buku di perpustakaan sehingga aku kurang akrab dengan teman sekelasku.
Pelajaran pertama, Bahasa Inggris cukup menyenangkan, teman-temanku yang lain sepertinya juga menikmati pelajaran ini. Terutama saat seseorang temanku maju dan menceritakan pengalamannya dalam Bahasa Inggris. Aku dan teman-temanku tertawa melihat aksinya di depan kelas. Sebenarnya beliau pandai dalam berbahasa Inggris, alasan mengapa aku dan teman-teman tertawa lebih dikarenakan ekspresi beliau dalam menceritakan kisahnya bertemu dengan anjing peliharaanya, yang menurutnya lebih indah dibanding saat beliau bertemu dengan pacarnya. Semua siswa di kelas sontak menyorakinya, tentu saja karena beliau tidak pernah berpacaran.
“Hei, mending pacaran saja sana sama anjingmu!” kata Bayu jahil.
“Tidak perlu repot-repot karena aku sudah menganggapnya sebagai pacar,” kata Rian.
“Beneran, nih?” sahut Putri.
“Enggaklah, memangnya aku gak ada yang mau sampai pacaran sama anjing.” Jawab Rian jengkel.
“Ya, kenapa enggak?” tanya Angel, tampaknya ia dari tadi memperhatikan orang yang ada di depannya itu sambil menahan tawa.
“Oh! Jadi gitu, ya?” kata Mia, memasang wajah seriusnya. Aku tahu ini semua hanyalah bercanda.
“Iya-iya, kenapa enggak?” timpal Lina kali ini, kondisi kelas sekarang malah makin kacau.
“Hei! Kali–”
“That’s enough. Thanks you, Rian.” Potong Bu Eka sambil tersenyum. Rian pun langsung kembali ke tempat duduknya. Sepertinya Bu Eka memahami kondisi yang terjadi. Jika terus dibiarkan kurasa pembicaraan ini tidak akan selesai.
***
Pelajaran pertama berakhir dan aku benar-benar merasa malas pada pelajaran selanjutnya. Temanku yang lainnya sedang asik mengobrol. Sedangkan teman sampingku ini, Yasmin, sibuk memainkan ponselnya.
Ngapain, Min? Kok senyum-senyum,” tanyaku memastikan aku tidak salah lihat.
“Enggak kok, lucu aja baca ini,” gumam Yasmin.
“Baca apa-an?” tanyaku penasaran.
“Rahasia, mau tahu aja!” jawab Yasmin asal-asalan. Aku mengerutkan keningku melihat tingkah Yasmin saat ini. Tiba-tiba kelas menjadi diam, reflek aku melihat kearah pintu. Ternyata Pak Wiharto, guru ekonomi sudah datang.  Pelajaran kali ini tentang ‘’Sistem dan Alat Pembayaran’’, aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi saat pelajaran dimulai. Sebenarnya sejak pelajaran pertama kepalaku terasa sakit, tapi karena pelajarannya menyenangkan rasa sakitnya tidak terlalu terasa. Sekarang kepalaku benar-benar sakit. Aku menengok ke belakang melihat jam. Jam menunjuk pukul delapan lebih lima belas menit. Aku menghembuskan napas panjang, tak sabar pelajaran ini segera berakhir.
Aku meletakkan kepalaku di atas hamburan buku-bukuku yang tergeletak pada meja. Aku melihat ke arah luar kelas, sambil mengetuk-ngetukkan pensil, bermaksud menghilangkan sakit kepalaku ini. Samar-samar kudengar suara Pak Wiharto mengajar. Di luar aku melihat seseorang mengenakan pakaian aneh. Seperti kostum yang ada di sirkus-sirkus dalam film. Ia mengenakan baju berwarna belang merah kuning dengan sedikit rumbai berwarna putih, celana panjang berwarna biru, sepatu coklat dengan ujung yang runcing. Dan satu lagi yang paling aneh kurasa, yaitu topi bundar berwarna-warni. Dia berdiri di depan kelasku. Menatap dan tersenyum kepadaku, kurasa. Dia tampak keriput dan rambutnya berwarna putih. Tapi anehnya teman-temanku tidak menyadari kehadirannya.  Sesuatu yang lembut terasa di bawah kakiku. Aku melihat ke bawah dan ternyata seekor kucing berbulu hitam. Beberapa kali sebelumnya kucing itu juga masuk ke kelasku. Entah aku tak tahu mengapa? Tapi sepertinya kucing itu seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku melihat ke arah luar kelas lagi, tapi orang itu sudah tidak ada.
 “Ah, aku tertidur. Jam berapa ini?” gumamku sendiri. Aku melihat ke arah jam, sekarang jam setengah dua belas malam. Aku terkejut begitu mengetahuinya. “Kenapa aku bisa tertidur selama ini? Kemana yang lainnya?” aku melihat sekelilingku. Aku masih mengenakan seragam dan berada di kelas sendirian. Aku tak tahu kenapa teman-temanku atau bahkan guruku, kenapa mereka tak membangunkanku? Aku membereskan buku-bukuku dan berjalan keluar. Kelas tak terkunci, pintunya masih terbuka. Tanpa sadar aku meneteskan air mata dan terus berjalan ke parkiran sekolah. “Kenapa mereka setega ini? Kenapa mereka tak membangunkanku? Aku salah apa? Kenapa begini kupikir mereka temanku? Apakah mereka temanku?” aku terjatuh dan menangis merasakan apa yang dilakukan teman-teman kepadaku. Aku bahkan tak tahu lagi mereka temanku atau bukan. Aku tahu aku sering membaca sehingga jarang berbicara pada mereka, tapi bukankah ini sudah keterlaluan.
Aku bangun dan membersihkan air mataku dengan tangan. Malam ini sangat gelap, lampu-lampu di sekolah hanya sedikit yang menyala. Aku meneruskan jalanku, tapi aku merasa sesuatu yang aneh. Aku melihat ke atas langit di mana bulan dan bintang berada, tapi tak ada satupun bulan dan bintang yang terlihat. Aku mengerutkan kening tak mengerti, bahkan di langit yang cerah tak ada bulan dan bintang yang menemaniku. Aku bergegas menuju parkiran sepeda mencoba tak mempedulikan hal aneh yang menimpaku. Aku berjalan cepat melewati kelas-kelas dan kuperhatikan tiap kelas yang kulalui. Aku tak yakin dengan apa yang kulihat, tapi di setiap pintu kelas terdapat noda merah seperti darah.  Bahkan tirai-tirai jendela yang semula berwarna hijau menjadi merah. Di parkiran aku terkejut, ternyata tidak seperti yang kukira. Sepedaku bukanlah satu-satunya yang ada di parkiran, masih banyak sepeda dan motor yang terparkir. Saat mencari sepedaku aku melihat seseorang di parkiran, wajahnya tak terlihat karena gelap. Aku berjalan mendekatinya dan melihat sekeliling memastikan apakah ada orang lain atau tidak? Orang itu berdiri tegak tak bergerak, tapi sepertinya ia melayang aku tak tahu pasti di parkiran benar-benar gelap. Tiba-tiba sesuatu terlintas di pikiranku. Aku mengambil ponselku di tas dan menyalakan flashlight. Kemudian aku mengarahkan ponselku ke arah orang itu. Begitu terlihat jelas wajah orang itu, aku tak bisa berpikir apa-apa. Badanku begitu kaku, tanganku bergetar tanpa kuinginkan, dan ponselku tiba-tiba terlepas dari genggaman. Aku tak percaya dengan yang kulihat, berkali-kali aku mengerjap-ngerjapkan mata berharap kenyataan ini tak nyata. Namun bentuk itu makin terlihat jelas. Orang itu adalah Dian, dia meninggal dengan tubuh yang digantung dan pisau yang menancap di dadanya. Wajahnya pucat pasi dengan mulut menganga dan mata terbuka terbelalak. Aku menangis tak percaya semua ini terjadi aku bahkan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak tahu kenapa Dian dibunuh dengan kejam seperti ini dan siapa yang membunuhnya? “Jika semua sepeda dan motor masih ada di sini, apakah yang lainnya juga dibunuh? Apa itu sebabnya ada darah di pintu tiap kelas? Jika itu benar-benar terjadi berarti pembunuh itu masih ada di sini.” Aku benar-benar tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba sesosok hitam bergerak, aku langsung berlari mengejarnya. Memaksa tubuh ini bergerak tak peduli apakah itu si pembunuh atau bukan. Aku terus mengejar sosok itu, aku semakin mendekatinya. Sosok itu terlihat mengenakan jaket dan celana berwarna hitam.
“Ber… berhenti! Apa kamu si pembunuh?” teriakku dengan marah. Orang itu berhenti sebentar kemudian berlari lagi. “Hei, kubilang berhenti! Jawab pertanyaanku!” Orang itu tiba-tiba menghilang, aku berjalan mencarinya. Tiba-tiba seseorang menutup mulutku dari belakang. Aku berusaha melepasnya, tapi sia-sia tenaganya lebih besar. Orang itu kemudian menarikku ke belakang dan membisikkan sesuatu.
“Tenanglah, akan kujawab pertanyaanmu jika kau tenang,” suaranya terdengar berat seperti suara laki-laki. Aku menganggukkan kepala dan dia melepaskan tangannya. Aku berbalik dan memperhatikannya ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki remaja. Tetapi aku belum pernah melihatnya di sekolah atau pun di rumah. Dia lebih tinggi dariku, aku mencoba mengingat-ingat apakah aku mengenalnya atau tidak? “aku bukan siapa-siapa, kau tak mengenalku. Cepat katakan apa yang ingin kau tanyakan.” Katanya membaca pikiranku.
“Oh, umm a… apa kamu yang membunuh temanku Dian? Apa temanku yang lainnya juga kamu bunuh?” aku berusaha tidak menangis, tetapi bayang-bayang Dian terus berputar di kepalaku.
“Bukan aku yang membunuh Dian dan temanmu yang lain sepertinya juga terbunuh.” Kata laki-laki itu dengan tenang tak peduli kegelisahanku.
“Si… siapa yang membunuh teman-temanku, kenapa ia melakukannya?” tanyaku terisak aku sudah tak tahan lagi.
“Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu itu. Tapi, aku dapat mengatakan apa yang terjadi, jadi tenanglah jangan menangis.” Katanya lembut sambil mengusap air mataku. Aku mengangguk dan menenangkan diriku.
“Baikklah, jadi sebenarnya apa yang telah terjadi?” kataku tak sabar.
“Pikirkan dan dengarkan ini baik-baik aku tak akan mengulanginya, waktuku tak lama lagi. Apakah tidak aneh jika di langit di mana bulan dan bintang berada tidak ada? Coba kau lihat tak ada awan sama sekali, tapi tak ada satupun bulan dan bintang yang terlihat. Pikirkanlah nanti kau dapat mengerti apa yang terjadi. Kau tadi juga sempat menyadarinya, kan?” Katanya sambil menunjuk ke langit.
“Kenapa kamu tidak langsung menjelaskan apa yang terjadi? Dan kenapa harus teka-teki?” aku benar-benar tak mengerti di situasi seperti ini dia malah memberiku sesuatu yang harus kutebak.
“Karena dengan begitu kau dapat memahami apa yang terjadi.” Katanya pelan.
Seketika orang itu menghilang entah kemana begitu mengatakannya. Dan aku entah mengapa berdiri di depan kelasku sendiri. “Apa yang sebenarnya terjadi?” aku ragu apakah aku harus masuk atau tidak? Tetapi aku mendengar sesuatu dari dalam kelas jadi aku memutuskan masuk ke dalam. Kelas tertutup, aneh padahal tadi masih terbuka. Tanganku bergetar perlahan-lahan aku menggerakkan tanganku dan mencoba membuka pintu kelas. Dengan tanganku yang kiriku terkepal erat aku mendorong pintu dengan tanganku yang lain. Pintu terbuka, di kelas sangat gelap aku tidak dapat melihat apapun. Beruntung aku sempat mengambil ponselku sebelum berlari mengejar pemuda tadi. Aku mulai menyoroti sudut penjuru kelasdan berjalan memasukinya. Aku berkeliling kelas sambil terus berpikir perkataan pemuda tadi meski pikiranku terasa kacau. Lalu aku melihat seseorang memakai jubah berdiri membelakangiku. Orang itu tampak memegang pisau dan berbalik kearahku begitu aku meyorotinya. Aku yakin dia pembunuhnya, tapi aku tak yakin siapa orang yang ada di hadapanku wajahnya familiar denganku. Mirip denganku, benar-benar mirip, aku yang berdiri di sana mengenakan jubah sambil membawa pisau. Aku diam beku begitu orang itu berjalan mendekatiku.
“Ke… kenapa kamu membunuh teman-temanku? Kenapa?” teriakku sambil menahan air mata.
“Seharusnya kamu tahu, kenapa. Aku adalah kamu. Apa kamu sudah membaca pesanku di tubuh Dian?” jawab orang itu sambil tertawa.
“Aku bukan kamu. Jangan menipuku dasar pembunuh! Dan pesan apa yang kamu maksud?” lagi-lagi hal yang tidak kumengerti, aku sudah sangat muak.
“Apa kamu lupa kejadian saat itu,” katanya sambil memegang bahuku. “Dian si busuk itu, dia membiarkanmu begitu saja melihat kamu jatuh dari sepeda. Padahal ia melihatnya dan ia malah menertawakanmu, bukan begitu? Aku sengaja menulis penghianat di kertas itu karena sebagai teman ia malah melakukan itu. Jadi aku membunuhnya dan itu juga yang kamu inginkan, bukan?”
“Kamu salah, Dian nggak pernah seperti itu. Dia tidak melihatku. Dan apa hanya karena ini kamu membunuhnya? Dasar pembunuh kejam!”
“Dia bahkan tak menganggapmu sebagai teman dan temanmu yang lainnya pun juga begitu. Aku bukan pembunuh kejam, aku adalah kamu. Satu lagi, kamu sendiri juga tidak pernah menganggap mereka sebagai teman. Bagimu mereka adalah pengganggu di saat kamu membaca, benar begitu?” sosok itu kembali tertawa begitu melihatku pucat.
“Se… sebenarnya siapa kamu? A… aku selalu merasa mereka teman-temanku. Dan ucapanmu salah.” Aku tergagap mengatakannya, tak mengerti juga ia bisa mengetahuinya.
“Aku tahu segalanya karena aku adalah kamu, dan kamu masih menganggap mereka teman? Bahkan setelah mereka melakukan hal-hal yang menyakiti hatimu. Di kelas saat kamu sakit tak ada yang menanyakan kondisimu. Bahkan teman semejamu pun tidak. Lalu, saat pelajaran olahraga tidak ada yang mau menjadi pasanganmu padahal jumlah siswa genap. Lalu– ”
“Sudah cukup, hentikan! Aku tak peduli seperti apa yang mereka lakukan padaku. Aku tetap menganggap mereka temanku. Aku sangat bahagia saat mereka dekat denganku, bersamaku. Tapi apa yang kamu lakukan, kamu membunuh teman-temanku. Pembunuuh!” Teriakku tak tahan.
“Kamu tidak mengerti apa yang kukatakan, ya? Sekarang aku tak peduli lagi kamu itu aku atau bukan. Sekarang aku akan membunuhmu. Ha Ha Ha.” Kata sosok itu sambil tertawa.
“A… apa?” aku bergerak mundur ketakutan, sementara sosok itu mulai mendekatiku dan mengarahkan pisaunya ke arahku. Aku kembali memikirkan apa yang dikatakan pemuda tadi. Sosok itu semakin dekat aku tak dapat bergerak mundur dan pintu kelas tiba-tiba saja tertutup. Sosok itu mengarahkan pisaunya ke wajahku dengan cepat, aku sekarang mengerti apa maksud pemuda tadi dan tersenyum senang.
***
“Ah, aku tertidur. Jam berapa ini?” kataku sambil mengusap mataku.
“Eh, sekarang jam setengah sembilan. Kamu tidur ya, Rin?” goda Yasmin.
“Emm, iya. He he he,” aku menggaruk kepalaku meski tak gatal. “Ngomong-ngomong, Pak Wiharto kemana? Kok gak kelihatan,” tanyaku bingung.
“Pak Wiharto tadi pulang, katanya ada urusan. Pelajaran sekarang diganti sama sejarah. Eh, katanya gurunya baru, lho!” Kata Yasmin berbinar-binar.
“Hah! Beneran?” kataku memastikan, Yasmin hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Entah mengapa sekarang aku merasa lega. Suatu perasaan aneh begitu aku terbangun. Mimpi dalam tidur singkatku tadi tidak dapat kuingat, namun aku senang kepalaku tak terasa sakit lagi. Lalu datang seseorang ke dalam kelasku. Aku ragu apa aku pernah melihatnya, tapi sepertinya aku pernah melihatnya
“Perkenalkan saya adalah guru baru kalian. Nama bapak Nicholas Van Der Toon, saya mengajar sejarah.” Kata bapak itu sambil tersenyum. Aku memperhatikan baik-baik bapak itu, ia mengenakan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi berbentuk pita. Sesuatu yang sangat formal untuk dipakai seorang guru SMA. Kemudian ia mengenakan celana panjang berwarna hitam dan memakai sepatu coklat dengan ujungnya yang runcing. Aku melihat wajahnya, ia agak keriput dan rambutnya berwarna putih ia juga memiliki janggut panjang dan kulihat sekarang ia tersenyum padaku. Aku yakin kalau aku pernah melihatnya sebelumnya.
***
Hari Senin kegiatan study wisata kelas sepuluh diadakan. Aku dan teman sekelasku satu bus, begitu pengumumannya saat busnya tiba. Sebelumnya kami tak satu bus, namun tiba-tiba muncul pemberitahuan ini. Dan guru pembimbing kami adalah Pak Nicholas guru baru kami. Aku duduk di samping Dian, sesuai yang telah ditentukan. Perjalanan menuju lokasi kira-kira membutuhkan waktu 3 jam. Aku mengambil novelku berniat membaca, namun sebelum sempat membaca, novel itu sudah berada di tangan Dian. Aku mendengus kesal dan melihat Dian membuka-buka novelku.
“Tadi kamu cerita tentang Pak Nicholas yang menurutmu aneh dan mimpimu di hari jumat aku mati terbunuh dan ternyata kamu yang bunuh aku, ya kan?” kata Dian tiba-tiba mengulang ceritaku tadi. Aku memang menceritakannya ke Dian, tapi aku tak mengerti mengapa Dian bertanya itu.
“Ya, kenapa?” aku penasaran kenapa Dian tiba-tiba begini.
“Kamu masih merasa aneh sama Pak Nicholas, Rin?” tanya Dian mengangkat sebelah alisnya.
"Oh, umm..." aku memikirkan perkataan Dian sambil melihat ke arah Pak Nicholas yang sedang membaca koran, pakaiannya masih sangat formal untuk kegiatan di luar sekolah.  Benar, lagi-lagi jas yang ia pakai, berbeda dengan guru lain yang berkemeja. “Ya dia memang aneh,” kataku akhirnya.
“Baca buku ini lagi, deh! Kamu kebanyakan baca, sih. Jadi menganggap nyata cerita, kan akhirnya.” Dian menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya sambil melihat ke arahku dan memberikan kembali novelku.

Aku tak mengerti. Aku kemudian mengambilnya dan membaca novelku lagi. Aku memang belum selesai membacanya sejak Jumat. Dan setelah selesai membaca aku mengerti ucapan Dian, novelku bercerita tentang kehidupan pesirkus sang pembunuh yang terjebak dalam mimpinya.

Karya : Salma Azizah

You May Also Like

0 komentar