Cepen " Kau Pertemukanku dengan Kasih Tulus"
“Ketika kau ketuk pintu
hatiku, tak ada lagi celah untukmu masuk . Sang Dewa Malam membisikiku untuk
menggeliat dalam kegelapan sunyi nan sepi. Delimaku, jemari lentikmu senantiasa
menari dalam sanubariku menggelitik kedinginan malam. Menunggumu pulang, tak
tahu arah tak tahu jalan. Tersesat! Hanya kilau bening hatimu yang akan
menuntunmu kembali.” Telapak Suyatmi nampak pucat. Ingin dia merobek surat
terakhir itu. Bibirnya yang merah bak buah delima kini membiru. Dinginnya malam
menyelimuti kali ini. Suyatmi, gadis berbadan gemuk berisi ini telah kehilangan
semangat hidupnya. Dikala ia berpisah dengan kekasihnya, Sumarno.
“Yatmi… Kemari, Nak! Ibu
punya sesuatu untukmu.” seru Mak Cik, yang sudah berusia lanjut. Namun Mak Cik
adalah satu-satunya orang tulus yang mau merawat Suyatmi. “Iya Mak… Tunggu
sebentar.” Duk duk duk, langkah itu terdengar mendekat. Suyatmi yang dalam
kesehariannya terbiasa tidak beralas kaki kini sudah berada di samping Maknya.
“Ada apa, Mak? Tampaknya Emak senang sekali?” Senyum manis itu menyimpul dari
bibir Mak Cik, “Iya Nduk, Mak baru saja mendapat bonus dari Pak Agus, penjualan
telur asin Emak laku habis beberapa hari ini. Ini Mak ada sedikit uang saku
tambahan untukmu.” Yatmi tersenyum mendengar kabar itu, namun Yatmi tampak ragu
“Terimakasih Mak. . . Tapi apa tidak sebaiknya uang itu disimpan Mak saja?
Yatmi belum ada kebutuhan yang mendesak, Mak.” Mak Cik membelai lembut rambut
Yatmi yang hitam legam. Sama persis seperti almarhumah Ibu Yatmi dulu. Memang,
dahulu Ibu Yatmi adalah kembang desa, namun beliau meninggal karena sakit
memikirkan Ayah Yatmi yang menghambur-hamburkan uang hanya untuk judi, judi,
dan judi. “Ya sudah, Nduk. Uang ini Emak simpan untuk bekal kamu kelak.” Yatmi
pun berdiri dan ijin masuk ke kamar.
Ia tak bisa lepas dari
bayangan buku kusam itu. Meskipun kusam, buku itu menyimpan sejuta kenangan
indah. Kisah cintanya dan Marno. Yatmi mulai membuka lembaran pertama buku itu.
Ia mengingat kejadian pertama yang mengenalkannya pada Marno. Walaupun Sekolah
Menengah Atas tempat Yatmi menimba ilmu tergolong terpencil, Masa Orientasi
Peserta Didik tak luput dari sekolah ini. Perkenalan pertama pada saat masa
orientasi itu selalu membayangi setiap jejak mereka. Ya…Mereka yang dulunya anak
lugu, kini tak bisa menipu rasa yang ada dalam hati mereka. Cinta, hal yang
dulunya tabu,kini menjadi penghias hari yang mereka lalui.
Setelah kenaikan kelas, Yatmi memutuskan
untuk keluar sekolah untuk meringankan beban Mak Cik. Kini ia duduk membisu di samping
Mak Cik. Membalur telur bebek dengan lumpur yang dicampur serbuk batu bata dan
garam itu. Ia membayangkan kalau saja ia masih bersekolah, pastinya ia sedang
makan berdua dengan Marno. Namun ia tak menyesali keputusannya, keinginannya
untuk membantu Mak Cik nampaknya mulai mendapatkan jalan mulus. Yatmi mulai
mendapat banyak pesanan telur asin, banyak keluarga yang menyukai telur asin
buatannya. Sedikit demi sedikit ia mengembangkan industri rumah tangganya
menjadi lebih besar.
Suyatmi merupakan anak
yang menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan. Sembari mengembangkan usahanya
dengan Mak Cik, Yatmi juga membeli buku-buku ilmu pengetahuan. Suyatmi ingin
membebaskan diri dari keterbelakangan. Perpisahannya dengan Marno merupakan
cambuk pedih bagi Yatmi. Ia terus berusaha memperbaiki hidupnya dan Mak Cik.
Semangat Suyatmi terus berkobar meskipun usahanya tak selalu mulus, kadang
banyak pesanan dan kadang tidak. Usaha rintisan Mak Cik itupun dititipkan ke
sekolah tempat Yatmi menimba ilmu dulu.
Suatu hari ketika Yatmi
menitipkan telur asin di SMA Yatmi dulu, dipecah lamunnya oleh seorang pria.
“Hah Pak Bejo? Wah, sudah lama tidak bertemu ya Pak.” Tanya Yatmi dengan
terkejut. “Oalah… Nak Yatmi to, sedang apa di sini?” tanya Pak Bejo “Ini Pak,
saya sekarang membantu Mak untuk memasarkan telur asinnya.” “Oh, begitu… Ya
sudah Nak Yatmi, Bapak tinggal dulu ya.” Sekilas ada sesosok lelaki tampan yang
berjalan berdua dengan seorang wanita. Betapa hancurnya hati Yatmi ketika
menyadari lelaki itu adalah kekasihnya dahulu…Marno!
Setapak demi setapak
yang dilalui, semakin tidak menentu, seakan lepas engsel itu dari asalnya. Mak
Cik yang memperhatikan Yatmi dari kejauhan, sudah bisa menebak apa yang dialami
Yatmi siang tadi. “Kenapa Yatmi? Kok kamu lesu sekali?” “Tidak apa-apa Mak,
hanya saja tadi Yatmi bertemu Latifah sahabat Yatmi dulu.” “Lho, kok malah
sedih?” “Bukan apa-apa kok Mak, mungkin Yatmi hanya lelah. Yatmi ke kamar dulu
ya, Mak.” Mak Cik mengangguk kecil menunjukkan masih ada kejanggalan yang
dirasakan.
“Teganya kamu Latifah. Kamu sahabatku
yang dahulu selalu menemani hariku. Tawa canda kita kau rusak sudah, kau
hancurkan dengan sikap khianatmu.” Air mata menetes dari sudut mata sayu
Suyatmi. Lembaran buku kusam itu pun nampak merapuh karena air yang merembas
padanya. “Apa yang dulu kamu janjikan, menjadi sahabat setiaku. Kini kau rusak
janji manismu sendiri tanpa penjelasan berarti. Kau acuh ketika menemuiku siang
tadi. Bahkan kalian nampak tidak pernah mengenalku sebelumnya. Memang aku
hanyalalah yatim yang tak tamat sekolahnya, namun tak sepantasnya kalian
merendahkanku seperti ini.” Semakin deras air mata yang menetes dari mata sabit
itu. Yatmi bergegas menuju tempat wudhu.
Dibasuhnya muka manis itu dengan sentuhan lembut. Ia lalu menghadap Sang Khaliq,
diadukannya semua kejadian yang telah ia alami. Semacam ada kekuatan gaib.
Yatmi menemukan dirinya yang baru, kini Yatmi menjadi dukun beranak.
Reputasinya mengalahkan Pak Tunggono, langganan Pak Amrun. Ia menyadari,
semakin lemah ia menjalani kehidupan, kehidupanpun semakin tak memiliki belas
kasihan padanya. Ini yang ia jadikan pacuan untuk meperbaiki hidupnya.
Tabungan yang ia miliki
selama ini, ia gunakan untuk membuka toko kelontong kecil-kecilan. Jiwa
wiraswasta yang entah menurun dari siapa seakan ia berjalan dengan
pembimbingnya yang tak tampak. Jauh berbeda dengan Yatmi yang dahulunya
hanyalah wanita lemah. Yang hanya karena cinta, ia terseok-seok mengaduh
kesakitan tanpa seorangpun peduli padanya. Cukup sudah itu menjadi kenangan
pahit yang ada dalam perjalanan hidupnya. Kebangkitannya kini membawa pada
kebaikan, wanita yang kuat, yang tidak mudah terombang-ambingkan apalagi hanya
dengan khianat yang dilakukan Marno dan Latifah.
Waktu berlalu,
mengenalkan Yatmi pada Bambang. Lelaki yang tak kalah tampan dengan Marno.
Hanya saja kalah mapan mungkin. Bahtera kehidupan baru pun dimulai Yatmi.
Menjalin kasih tulus abadi. Dengan Bambang.
Karya : Rico Adi Setyanto
0 komentar