Cerpen "3 in 1"

by - November 27, 2016

3 in 1
“Punyaku mana?” tanyaku pada Krisna.
“Nih, nih. Buruan!” Krisna memberikanku beberapa atribut MOS yang harus dipakai hari ini. Lalu ia segera berlari menuju barisan, sedangkan aku dengan susah payah masih mencoba menggunakan selempang kertas dengan hati-hati agar tidak robek di tepi lapangan.
“Ayo cepetan, Dik. Segera masuk ke barisan!” ketua OSIS berteriak menggunakan toa sambil mondar-mandir. Gayanya sombong khas pengurus MOS. Ia menggunakan seragam OSIS dan jas almamater merah tuanya yang disampirkan dibahu kanannya. Tubuhnya tinggi dan cukup berisi. Kulitnya sawo matang dan berkilau terkena cahaya matahari pagi. Tapi tunggu, sepertinya aku pernah melihatnya. Dia seperti.... oh astaga! Dia adalah kakak kelasku sewaktu SD! Wow! Dia sekarang jauh lebih... em, tampan. Tapi, siapa ya namanya?
Setelah tanpa sadar aku mengamatinya cukup lama, aku langsung berlari menuju barisan kelompokku yang kutandai dengan adanya salah seorang teman SMP-ku. Begitu masuk barisan, aku langsung merapikan rambutku yang saat itu dikepang delapan belas.
“Hei, Dik!” tiba-tiba kakak OSIS pembawa toa berteriak. Seluruh murid tersentak dan terdiam ketakutan khas anak baru yang masih cupu. Dan dia menatapku.
“Kamu, yang baru aja datang. Cepat mundur ke barisan belakang!” katanya sambil menunjukku. Tanpa menunggu si pembawa toa ngomel, aku langsung bergabung ke barisan belakang yang notabene adalah barisan yang berisi murid baru yang melanggar peraturan. Maksudnya apa sih? Murid baru yang terlambat kan bukan hanya aku saja. Dan apa maunya dengan mempermalukanku di khalayak ramai seperti tadi? Ah, aku malu sekali. Rasanya ingin berenang di Segitiga Bermuda saja!
Sementara si pembawa toa mengatur para murid baru berjalan ke aula, anggota OSIS yang lain mencatat pelanggaran kami dan beberapa mendokumentasi. Setelah barisan utama habis, pembawa toa langsung datang menghampiri kami.
“Kalian itu, ya! Baru sebentar masuk sini aja udah belagu! Kalian nggak menghargai kami yang ngasih peraturan! Seenaknya nggak bawa atribut lah, salah bikin atribut lah, telat lah. Kalian yang terlambat! Memangnya masuk jam tujuh itu kepagian? Atau mau dikasih jam malam aja?” pembawa toa yang sedari tadi mondar-mandir sambil marah-marah kini berhenti di hadapanku. Sekilas kulihat seragamnya. Oh iya, namanya Farel!
“Dan kamu! Udah datang telat, atribut juga dibawain. Niat nggak sih ikut MOS?” dia langsung menyemprotku habis-habisan di depan umum lagi. Yaelah. Pak ketua yang terhormat, kalau kalian nggak kasih syarat macam-macam, aku juga bisa bikin atribut dan datang subuh sekalipun! Namun daripada mencari mati, aku menyimpan kata-kata itu dan hanya menunduk. Sekilas aku diam-diam melihat wajahnya. Dia tersenyum.
Masa MOS itu sudah terjadi satu semester yang lalu. Namun aku masih tidak bisa melupakannya. Dan setelah itu, setiap kali aku bertemu Kak Farel, dia selalu menggodaku dengan bersiul ke arahku. Namun ketika aku menengok ke arahnya, dia langung menghadap langit sambil bersiul dan memetikkan jari seolah-olah sedang berinteraksi dengan burung. Aku hanya meliriknya sinis. Berhubung kini dia sudah tidak menjabat lagi sebagai ketua OSIS karena sudah kelas 12, aku tidak lagi takut padanya.
Kelakuannya itu terkadang membuatku tersipu. Namun bila ia sudah melihat pipiku memerah, dia langsung tertawa mengejekku. Itu membuatku malu dan tidak bisa membalasnya. Saras dan Vania, kedua sahabatku itu justru yang heboh sendiri setiap Kak Farel menggodaku. Tidak heran, Kak Farel memang terkenal di sekolah kami. Walaupun begitu, katanya dia agak pendiam dan dingin. Temannya juga itu-itu saja. Beruntung sekali bila bisa dikenal atau bahkan diketahui olehnya.
Dan untuk menghindari godaannya, aku menjadi jarang keluar kelas. Tapi aku tidak berdiam diri begitu saja. Aku, Saras, dan Vania selalu menonton film setiap jam kosong atau istirahat. Beberapa teman lain ikut juga, hingga sering membuat kelas menjadi gaduh karena jeritan kami yang tidak manusiawi.
Tapi tidak sampai di situ, Kak Farel tetap saja menggodaku dengan mondar-mandir di depan kelasku setiap istirahat. Teman-teman sekelasku selalu meledekku setiap kali dia lewat dengan berkata, “Eh, pacarmu lewat tuh”. Dia benar-benar sudah menimbulkan fitnah keji. Atau bila pulang sekolah, dia akan berlari dari belakangku dan sengaja menabrakku. Lalu ia akan berbalik melihatku sambil menjulurkan lidah. Ampun deh, maunya dia apa sih? Dia benar-benar jauh dari pendapat orang-orang yang menganggapnya kalem dan keren.
Dan suatu hari, aku mendapat sebuah email. Email itu berbunyi: “Hai :)”. Hmm... siapa ini? Alamat email unknown@yahoo.com itu benar-benar asing. Dan aneh.
Aku tidak berniat membalasnya. Jangan-jangan ini teror? Jangan-jangan Krisna mengerjaiku? Dia kan suka iseng. Atau malah jangan-jangan Vania dan Saras yang sedang menghiburku lantaran aku sedang sendiri (baca: jomblo)? Daripada nanti aku dipermalukan lebih baik tidak usah ambil risiko.
Namun walaupun tidak dibalas, email-email selanjutnya rutin masuk. Dan semua isinya tidak penting, seperti: “Apa kabar?”, “Kegiatan hari ini apa aja?”, “Selamat belajar”, dan pesan-pesan lainnya.
Suatu kali aku mendapat email lagi, bunyinya: “Halo, kok lama nggak ke kantin? Lagi bokek ya?”. Hmm, kalau isinya seperti ini, seharusnya dia ada di sekolah ini! Dan pastinya bukan teman sekelasku. Krisna kah? Dia kan di kelas sebelah. Tapi tidak mungkin. Cicak bakal berbulu kalau sampai dia mengirim kalimat seperti itu. Secara, dia itu orang yang benar-benar tidak ada romantisnya sama sekali.
Hari ini aku menunggu email itu datang untuk menebak siapa pengirim email itu. Namun sampai istirahat kedua tidak ada pemberitahuan email masuk di ponselku. Tumben sekali. Biasanya sebelum bel masuk email itu sudah ada.
Vania yang baru saja dari kantin lari menghampiriku dengan wajah girangnya yang memang selalu terpasang di wajahnya. Dia meletakkan sebungkus kerupuk kulit di mejaku.
“Buat kamu,” katanya dengan senyum yang makin melebar.
“Oh, makasih. Dari siapa?” tanyaku sambil membuka bungkus kerupuk itu. Lalu kumakan satu. Dia malah semakin girang saja. Kenapa sih dia? Kena pelet kali ya.
“Dari siapa?” tanyaku sekali lagi.
“Pria,” katanya tanpa mengecilkan lebar senyumannya. Ampun deh, lama-lama bisa sobek mulutnya.
“Siapa? Krisna?” kataku. Dia hanya menggeleng.
“Terus siapa?” tanyaku semakin gemas dengan teka-tekinya.
“Aku nggak boleh kasih tau katanya. Makan aja,” dia semakin girang. Sumpah, dia kenapa sih? Jangan-jangan ini kerupuk dikasih racun. Lalu dia lari menghampiri Saras dan membisikkan sesuatu. Saras yang tadinya diam mendengarkan kini ikut girang. Mereka jadi heboh berdua. Wah, kong kali kong. Aku harus hati-hati.
Terlepas dari kerupuk yang sepertinya mengandung pelet ini, aku masih penasaran dengan email yang hari ini tidak kuterima. Aku kembali mengecek ponsel, namun tetap tidak ada pemberitahuan. Ah, lupakan. Lebih baik kuhabiskan saja kerupuk mencurigakan ini.
Hari selanjutnya, aku masih tidak menerima email dari si uknown itu. Dan pada istirahat kedua, Vania kembali dari kantin membawakanku dua bungkus bakpao hijau. Dengan ekspresi yang sama. Pesan yang sama. Dan dari orang yang sama. Daripada aku bertanya lagi dan hanya dapat balasan cengiran, lebih baik aku duduk dan makan bakpao gratis ini. Sepertinya makanan titipan ini baik-baik saja, karena aku masih hidup setelah makan kerupuk kemarin.
Sampai seminggu, tetap tidak ada email masuk. Dan makanan titipan selalu datang dengan kuantitas yang meningkat. Hari ini saja aku mendapat lima bungkus nasi goreng. Buset, dia pikir perutku karet, bisa makan sebanyak ini? Lalu kubagikan empat bungkus nasi goreng ke teman-temanku dan kumakan satu. Hmm, dasar tukang katering.
Aku kembali menatap ponselku. Kenapa dia tidak kirim email lagi ya? Apa dia sudah lelah karena email-emailnya tidak pernah kubalas? Tapi kalau berhenti sampai di sini, maka aku tidak akan pernah tau siapa pengirimnya. Lalu aku berpikir untuk coba membalasnya. “Kamu siapa, sih?” tulisku.
Satu detik. Dua menit. Tiga jam. Empat hari. Masih tidak ada balasan. Karena kesal, aku mengiriminya puluhan email dengan pertanyaan yang sama. Satu menit. Dua menit.
Ting!
Ada email masuk! Segera kubuka, dan ternyata dari orang itu!
Duh, banyak banget balasannya. Kangen ya? :P. Maaf lama nggak kirim email, kuotaku habis :D. Tapi sebagai ganti kirim email, aku kirim kamu makanan lho setiap hari. Kamu makan kan? Kamu nggak pernah ke kantin lagi, sih. Takutnya kamu beneran bokek :P.
Dan aku, mungkin aku orang yang paling bikin kamu kesal. Selama ini aku begitu karena aku ingin mencari perhatianmu. Kita ketemu lagi setelah sekian tahun. Tapi sepertinya kamu nggak mengenaliku. Aku coba berbagai cara biar kita bisa kenalan lagi baik-baik. Tapi ternyata, astaga. Kamu orangnya cuek banget. Emailku aja nggak pernah kamu balas. Jadi ayo kita mulai lagi dari awal. Dan maaf buat kelakuanku waktu MOS itu ya :).
Ternyata dia! Si pembawa toa, si uknown, dan si tukang katering ternyata adalah orang yang sama! Dan itu maksud dari tingkah mengesalkannya selama ini.
Segera aku keluar kelas dan melayangkan pandanganku ke arah kantin. Kantin sudah agak sepi karena sebentar lagi bel masuk. Tepat setelah bel berbunyi, empat orang pria keluar dari kantin. Dan dia ada di sana.

Dia tersenyum padaku. Aku balas tersenyum dan melambaikan tangan dengan ponsel di genggamanku. Dia tersenyum mengerti. Kini kami siap memulai dari awal.

Karya : Meta Anggitarini

You May Also Like

0 komentar