Cerpen "3 in 1"
3
in 1
“Punyaku mana?” tanyaku
pada Krisna.
“Nih,
nih. Buruan!” Krisna memberikanku beberapa atribut MOS yang harus dipakai hari
ini. Lalu ia segera berlari menuju barisan, sedangkan aku dengan susah payah
masih mencoba menggunakan selempang kertas dengan hati-hati agar tidak robek di
tepi lapangan.
“Ayo
cepetan, Dik. Segera masuk ke barisan!” ketua OSIS berteriak menggunakan toa
sambil mondar-mandir. Gayanya sombong khas pengurus MOS. Ia menggunakan seragam
OSIS dan jas almamater merah tuanya yang disampirkan dibahu kanannya. Tubuhnya
tinggi dan cukup berisi. Kulitnya sawo matang dan berkilau terkena cahaya
matahari pagi. Tapi tunggu, sepertinya aku pernah melihatnya. Dia seperti....
oh astaga! Dia adalah kakak kelasku sewaktu SD! Wow! Dia sekarang jauh lebih...
em, tampan. Tapi, siapa ya namanya?
Setelah
tanpa sadar aku mengamatinya cukup lama, aku langsung berlari menuju barisan
kelompokku yang kutandai dengan adanya salah seorang teman SMP-ku. Begitu masuk
barisan, aku langsung merapikan rambutku yang saat itu dikepang delapan belas.
“Hei,
Dik!” tiba-tiba kakak OSIS pembawa toa berteriak. Seluruh murid tersentak dan
terdiam ketakutan khas anak baru yang masih cupu. Dan dia menatapku.
“Kamu,
yang baru aja datang. Cepat mundur ke barisan belakang!” katanya sambil
menunjukku. Tanpa menunggu si pembawa toa ngomel, aku langsung bergabung ke
barisan belakang yang notabene adalah barisan yang berisi murid baru yang
melanggar peraturan. Maksudnya apa sih? Murid baru yang terlambat kan bukan
hanya aku saja. Dan apa maunya dengan mempermalukanku di khalayak ramai seperti
tadi? Ah, aku malu sekali. Rasanya ingin berenang di Segitiga Bermuda saja!
Sementara
si pembawa toa mengatur para murid baru berjalan ke aula, anggota OSIS yang
lain mencatat pelanggaran kami dan beberapa mendokumentasi. Setelah barisan
utama habis, pembawa toa langsung datang menghampiri kami.
“Kalian
itu, ya! Baru sebentar masuk sini aja udah belagu! Kalian nggak menghargai kami
yang ngasih peraturan! Seenaknya nggak bawa atribut lah, salah bikin atribut
lah, telat lah. Kalian yang terlambat! Memangnya masuk jam tujuh itu kepagian?
Atau mau dikasih jam malam aja?” pembawa toa yang sedari tadi mondar-mandir
sambil marah-marah kini berhenti di hadapanku. Sekilas kulihat seragamnya. Oh
iya, namanya Farel!
“Dan
kamu! Udah datang telat, atribut juga dibawain. Niat nggak sih ikut MOS?” dia
langsung menyemprotku habis-habisan di depan umum lagi. Yaelah. Pak ketua yang
terhormat, kalau kalian nggak kasih syarat macam-macam, aku juga bisa bikin
atribut dan datang subuh sekalipun! Namun daripada mencari mati, aku menyimpan
kata-kata itu dan hanya menunduk. Sekilas aku diam-diam melihat wajahnya. Dia
tersenyum.
Masa
MOS itu sudah terjadi satu semester yang lalu. Namun aku masih tidak bisa
melupakannya. Dan setelah itu, setiap kali aku bertemu Kak Farel, dia selalu menggodaku
dengan bersiul ke arahku. Namun ketika aku menengok ke arahnya, dia langung
menghadap langit sambil bersiul dan memetikkan jari seolah-olah sedang
berinteraksi dengan burung. Aku hanya meliriknya sinis. Berhubung kini dia
sudah tidak menjabat lagi sebagai ketua OSIS karena sudah kelas 12, aku tidak
lagi takut padanya.
Kelakuannya
itu terkadang membuatku tersipu. Namun bila ia sudah melihat pipiku memerah,
dia langsung tertawa mengejekku. Itu membuatku malu dan tidak bisa membalasnya.
Saras dan Vania, kedua sahabatku itu justru yang heboh sendiri setiap Kak Farel
menggodaku. Tidak heran, Kak Farel memang terkenal di sekolah kami. Walaupun
begitu, katanya dia agak pendiam dan dingin. Temannya juga itu-itu saja.
Beruntung sekali bila bisa dikenal atau bahkan diketahui olehnya.
Dan
untuk menghindari godaannya, aku menjadi jarang keluar kelas. Tapi aku tidak
berdiam diri begitu saja. Aku, Saras, dan Vania selalu menonton film setiap jam
kosong atau istirahat. Beberapa teman lain ikut juga, hingga sering membuat
kelas menjadi gaduh karena jeritan kami yang tidak manusiawi.
Tapi
tidak sampai di situ, Kak Farel tetap saja menggodaku dengan mondar-mandir di
depan kelasku setiap istirahat. Teman-teman sekelasku selalu meledekku setiap
kali dia lewat dengan berkata, “Eh, pacarmu lewat tuh”. Dia benar-benar sudah
menimbulkan fitnah keji. Atau bila pulang sekolah, dia akan berlari dari
belakangku dan sengaja menabrakku. Lalu ia akan berbalik melihatku sambil
menjulurkan lidah. Ampun deh, maunya dia apa sih? Dia benar-benar jauh dari
pendapat orang-orang yang menganggapnya kalem dan keren.
Dan
suatu hari, aku mendapat sebuah email. Email itu berbunyi: “Hai :)”. Hmm...
siapa ini? Alamat email unknown@yahoo.com
itu benar-benar asing. Dan aneh.
Aku
tidak berniat membalasnya. Jangan-jangan ini teror? Jangan-jangan Krisna
mengerjaiku? Dia kan suka iseng. Atau malah jangan-jangan Vania dan Saras yang
sedang menghiburku lantaran aku sedang sendiri (baca: jomblo)? Daripada nanti
aku dipermalukan lebih baik tidak usah ambil risiko.
Namun
walaupun tidak dibalas, email-email selanjutnya rutin masuk. Dan semua isinya
tidak penting, seperti: “Apa kabar?”, “Kegiatan hari ini apa aja?”, “Selamat
belajar”, dan pesan-pesan lainnya.
Suatu
kali aku mendapat email lagi, bunyinya: “Halo, kok lama nggak ke kantin? Lagi bokek
ya?”. Hmm, kalau isinya seperti ini, seharusnya dia ada di sekolah ini! Dan
pastinya bukan teman sekelasku. Krisna kah? Dia kan di kelas sebelah. Tapi
tidak mungkin. Cicak bakal berbulu kalau sampai dia mengirim kalimat seperti
itu. Secara, dia itu orang yang benar-benar tidak ada romantisnya sama sekali.
Hari
ini aku menunggu email itu datang untuk menebak siapa pengirim email itu. Namun
sampai istirahat kedua tidak ada pemberitahuan email masuk di ponselku. Tumben
sekali. Biasanya sebelum bel masuk email itu sudah ada.
Vania
yang baru saja dari kantin lari menghampiriku dengan wajah girangnya yang
memang selalu terpasang di wajahnya. Dia meletakkan sebungkus kerupuk kulit di
mejaku.
“Buat kamu,” katanya
dengan senyum yang makin melebar.
“Oh, makasih. Dari
siapa?” tanyaku sambil membuka bungkus kerupuk itu. Lalu kumakan satu. Dia
malah semakin girang saja. Kenapa sih dia? Kena pelet kali ya.
“Dari siapa?” tanyaku
sekali lagi.
“Pria,” katanya tanpa
mengecilkan lebar senyumannya. Ampun deh, lama-lama bisa sobek mulutnya.
“Siapa? Krisna?” kataku.
Dia hanya menggeleng.
“Terus siapa?” tanyaku
semakin gemas dengan teka-tekinya.
“Aku
nggak boleh kasih tau katanya. Makan aja,” dia semakin girang. Sumpah, dia
kenapa sih? Jangan-jangan ini kerupuk dikasih racun. Lalu dia lari menghampiri
Saras dan membisikkan sesuatu. Saras yang tadinya diam mendengarkan kini ikut
girang. Mereka jadi heboh berdua. Wah, kong kali kong. Aku harus hati-hati.
Terlepas
dari kerupuk yang sepertinya mengandung pelet ini, aku masih penasaran dengan
email yang hari ini tidak kuterima. Aku kembali mengecek ponsel, namun tetap
tidak ada pemberitahuan. Ah, lupakan. Lebih baik kuhabiskan saja kerupuk
mencurigakan ini.
Hari
selanjutnya, aku masih tidak menerima email dari si uknown itu. Dan pada istirahat kedua, Vania kembali dari kantin
membawakanku dua bungkus bakpao hijau. Dengan ekspresi yang sama. Pesan yang
sama. Dan dari orang yang sama. Daripada aku bertanya lagi dan hanya dapat
balasan cengiran, lebih baik aku duduk dan makan bakpao gratis ini. Sepertinya
makanan titipan ini baik-baik saja, karena aku masih hidup setelah makan
kerupuk kemarin.
Sampai
seminggu, tetap tidak ada email masuk. Dan makanan titipan selalu datang dengan
kuantitas yang meningkat. Hari ini saja aku mendapat lima bungkus nasi goreng.
Buset, dia pikir perutku karet, bisa makan sebanyak ini? Lalu kubagikan empat
bungkus nasi goreng ke teman-temanku dan kumakan satu. Hmm, dasar tukang
katering.
Aku
kembali menatap ponselku. Kenapa dia tidak kirim email lagi ya? Apa dia sudah
lelah karena email-emailnya tidak pernah kubalas? Tapi kalau berhenti sampai di
sini, maka aku tidak akan pernah tau siapa pengirimnya. Lalu aku berpikir untuk
coba membalasnya. “Kamu siapa, sih?” tulisku.
Satu detik. Dua menit.
Tiga jam. Empat hari. Masih tidak ada balasan. Karena kesal, aku mengiriminya
puluhan email dengan pertanyaan yang sama. Satu menit. Dua menit.
Ting!
Ada email masuk! Segera
kubuka, dan ternyata dari orang itu!
Duh,
banyak banget balasannya. Kangen ya? :P. Maaf lama nggak kirim email, kuotaku
habis :D. Tapi sebagai ganti kirim email, aku kirim kamu makanan lho setiap
hari. Kamu makan kan? Kamu nggak pernah ke kantin lagi, sih. Takutnya kamu
beneran bokek :P.
Dan
aku, mungkin aku orang yang paling bikin kamu kesal. Selama ini aku begitu
karena aku ingin mencari perhatianmu. Kita ketemu lagi setelah sekian tahun.
Tapi sepertinya kamu nggak mengenaliku. Aku coba berbagai cara biar kita bisa
kenalan lagi baik-baik. Tapi ternyata, astaga. Kamu orangnya cuek banget.
Emailku aja nggak pernah kamu balas. Jadi ayo kita mulai lagi dari awal. Dan
maaf buat kelakuanku waktu MOS itu ya :).
Ternyata
dia! Si pembawa toa, si uknown, dan
si tukang katering ternyata adalah orang yang sama! Dan itu maksud dari tingkah
mengesalkannya selama ini.
Segera
aku keluar kelas dan melayangkan pandanganku ke arah kantin. Kantin sudah agak
sepi karena sebentar lagi bel masuk. Tepat setelah bel berbunyi, empat orang
pria keluar dari kantin. Dan dia ada di sana.
Dia
tersenyum padaku. Aku balas tersenyum dan melambaikan tangan dengan ponsel di
genggamanku. Dia tersenyum mengerti. Kini kami siap memulai dari awal.
Karya : Meta Anggitarini
0 komentar