Cerpen "Perpisahan adalah Akhir Pertemuan"

by - November 27, 2016

Perpisahan adalah Akhir Pertemuan
Angin berhembus meniup khimar panjang yang dipakai oleh seorang siswa dari salah satu SMP  dikota Bandung. Terlihat dia sedang berbincang dengan siswa yang lain. Mereka terlihat sangat asik dan bahagia dengan pembicaraan mereka. Namun, di sudut lain terlihat seorang siswa yang sedang menatap kearah langit. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya. Siswa berparas cantik dan sholehah tersebut bernama Maryam. Ternyata Maryam merupakan seorang yatim piatu, orang tuanya meninggal dikarenakan kecelakaan mobil saat perjalanan menuju rumah mereka.
Setelah kepergian kedua orang tuanya, Maryam hidup bersama paman dan bibinya yang tidak dianugrahi seorang anak. Adik lelakinya yang bernama Rasyid yang baru saja duduk di bangku SMP usianya terpaut 2 tahun oleh Maryam. Saat ini usia Maryam menginjak 15 tahun. Di tahun ini juga, Maryam akan lulus dari SMP dan akan melanjutkan studinya di Pondok Pesantren.
“Kakak pergi ya Syid, jaga paman dan bibi ya”
“Pasti aku akan menjaga paman dan bibi kak, Tenang saja Rasyid kan sudah besar” Rasyid menjawab dengan penuh percaya diri.
“Iyaa adekku yang manis, jangan kangen sama kakak ya’’
“Dih, ngapain kangen sama kakak’’ jawab Rasyid dengan wajah cueknya
‘’Dasar adek nyebelin, manis dikit kenapa? Kakak kamu kan mau pergi jauh nih. Kamu ngga peluk kakak nih? Nanti nyesel lo’’
‘’Yasudah Maryam adekmu mungkin belum rela kalau kamu tinggal jauh jauh. Nanti kalau kamu pergi, dia pasti akan mencarimu terus’’ Bibi muncul dari dapur membawakan bekal untuk perjalananku nanti.
‘’Yasudah bi, Maryam berangkat dulu ya. Maryam pergi dulu Assalamualaikum’’ tak lupa ia mecium tangan bibi dan pamanku.
Aku melangkah keluar rumah, dan meninggalkan Rasyid yang terlihat sangat sedih dengan kepergianku. Paman dan bibiku mengantar hingga depan rumah. Perjalanan baruku dimulai dari hari ini. Aku akan berusaha untuk mandiri. Kisah baruku akan dimulai di Pondok Pesantren yang akan mengajarkanku ilmu agama dan pengetahuan lainnya. Aku menyadari aku masih sangat kekurangan ilmu agama, dan hal itu yang menyebabkan aku ingin masuk ke Pondok Pesantren. Aku ingin mendi seseorang yang berubah, menjadi anak yang sholehah, dan berbakti dengan orang tuaku. Meski orang tuaku telah tiada, namun aku yakin orang tuaku pasti akan bangga.
Kini aku sedang duduk didekat jendela agar bisa melihat pemandangan yang ada disekitarku. Aku akan pergi ke kota Yogyakarta, disitulah aku akan memulai kisah baru dalam hidupku. Aku masih duduk melihat lalu lalang orang-orang yang berada di Terminal, namun hingga 10 menit bus masih belum berangkat. Bangku disebelahku pun masih kosong. Aku memutuskan untuk memasang earphone yang kuselipkan dibalik khimar yang ku kenakan, dan aku memutar surat Yusuf yang ada di handphone ku.
“Assalamualaikum yaa ukhti, bolehkah saya duduk disini?”
“Waalaikumsallam, oh iya silahkan.”
Pemuda itu langsung duduk disamping ku . Dan memperhatikan wanita yang sedari tadi hanya melihat kearah pemandangan. Dan wanita yang ada disebelahnya terlihat sangat sedih. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita itu. Lelaki itu merasa kasihan dengan wanita disebelahnya dan mencoba untuk mengajak berkenalkan.
“Permisi, kita tadi belum berkenalan. Aku Haidar”
“Aku Maryam” Aku langsung melepas headphoneku. Tak kusambut tangan nya, aku hanya menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku sudah bertekad untuk mengubah diriku menjadi lebih baik mulai dari sekarang. Lillahi taala. Dia menarik uluran tangannya dengan kaku.
“Afwan, kamu berasal dari mana?”
“Aku dari Bandung, kalau kamu?”
“Aku juga dari Bandung. Kamu mau kemana?”
“Ke Yogyakarta. Sebenarnya aku akan sekolah disana.”
“Wah, aku juga akan sekolah di Pesantren Nurul Huda”
“Hmm, sepertinya tujuan kita sama, aku juga akan sekolah disana.Sampai berjumpa             disana”
Aku langsung mengalihkan pandanganku. Aku sangat kagum dengan lelaki disebelahku. Dia telah membuatku merasa lebih baik. Namun, aku masih memikirkan kedua orang tuaku. Aku sangat rindu dengan kedua orang tuaku. Terdengar lelaki disebelahku sedang membacakan ayat ayat Al Quran yang dipegangnya. Terdengar dia sedang membacakan surat Yusuf. Aku sangat menyukai suara merdunya saat melantunkan ayat-ayat Al Quran dengan indah. Setelah sampai di Yogyakarta kami berpisah. Aku akan mencari beberapa buku untuk aku pelajari. Setelah selesai membeli buku, aku langsung menuju Pondok Pesantren.
“Mashaallah” Ucapku seraya kagum melihat Pondok Pesantren ku yang ternyata memiliki pemandangan yang amat indah.Pondok Pesantrenku yang letaknya agak dekat dengan pantai, membuatku kagum atas ciptaan-Nya. Aku langsung masuk ke ruangan yang memiliki beberapa tempat tidur. Ruangan itu kelak akan menjadi tempat untukku istirahat selama berada di Pesantren ini. Disana telah ada beberapa santri lain, mereka baru saja sampai dan menata bajunya di lemari yang telah disediakan.
“Assalamualaikum ukhti”
“Waalaikumsallam ukhtii” Ucap mereka serentak. Dan langsung menatapku dan berjabat tangan denganku. Dan memperkenalkan diri
Aku langsung menuju ke tempat tidurku dan aku langsung menata bajuku. Tiba-tiba Annisa, Rahma dan Bilqis menyusul ke kamarku. Mereka lalu membantuku menata bajuku. Selama berada di Pesantren ini, mereka bertiga selalu membantuku saat aku memiliki kesulitan. Kami memang bersahabat, dan setiap salah satu dari kita memiliki masalah, maka yang lain akan membantu untuk menyelesaikan masalah.
Pagi itu diadakan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan Pesantren. Kami berempat dengan semangat membersihkan sekitar kamar kami. Tiba-tiba Annisa menjerit ketakutan.
“Huwaaa akuu takutt. Tolonggg aku Maryam” Teriak Annisa dengan menutup matanya.
“Kenapa Annisa, kamu baik baik saja kan?” Tanyaku kepada Annisa, ternyata Bilqis dan Rahma juga berlari mendekati Annisa.
“Ituu ituu di kakikuuuu, adaa... Adaa cacinggg” Terdengar Annisa sedikit terisak karena kaget melihat cacing
“Hahahaha, kamu ada ada saja Annisa. Itu kan Cuma cacing.” Aku, Bilqis dan Rahma tertawa geli melihat Annisa yang sangat ketakutan melihat cacing.
“Iiihhh tolonggg bawa pergii cacingg ituu Maryam.” Aku segera membawa pergi cacing itu agar Annisa tidak membuat keributan lagi.
Aku merasa sangat bahagia memiliki sahabat seperti mereka. Mereka selalu menghiburku saat aku merasa kesepian ditinggal orang tuaku. Suatu malam aku duduk sendirian di taman Pesantren aku merindukan ayah dan ibuku. Mereka bertiga menghampiriku dengan membawakan jaket untuk kupakai. Karena udara malam hari ini sangat dingin. Mereka datang dengan tujuan untuk menghiburku, kebiasaan mereka disaat melihat salah seorang sahabatnya sedih. Mereka lah yang memberiku semangat agar aku dapat menjadi anak yang sholehah dan dapat mencapai cita-cita. Sehingga, sekarang aku mendapat peringkat 3 besar. Sahabatku yang lain pun juga memiliki prestasi yang tak kalah dariku. Kami selalu belajar bersama, dan saling mengingatkan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Tak terasa aku telah berada di Pesantren tersebut hampir selama 1 tahun. Dan aku akan menerima hasil kerja kerasku setelah aku belajar di Pesantren ini. Aku berharap ridho-Nya, agar aku dapat mendapat hasil yang memuaskan dan aku dapat membanggakan orang tua serta paman dan bibiku yang telah membiayaiku selama ini. Aku akan berubah menjadi diri yang lebih baik, dan itu ternyata berhasil setelah aku menemukan sahabat seperti mereka. Walapun aku masih belum bisa merubah diriku dengan sempurna, aku masih merasa aku belum sepenuhnya berubah menjadi baik. Dan aku akan berusaha.
“Maryam, selamat yaa kamu hebatt deh” Kompak ketiga sahabatku memberi ucapan selamat kepadaku.
“Syukron, kalian juga ngga kalah hebat kok” Aku segera merangkul ketiga sahabatku.
Aku tidak mau pergi dari ketiga sahabatku, aku masih ingin bersama sahabatku. Tak terasa ternyata aku telah meneteskan air mata. Aku sangat tidak bisa kehilangan mereka walaupun hanya dalam waktu singkat. Namun, aku juga sangat rindu dengan adikku Rasyid. Yang pasti akan kangen dengan kakaknya ini. Juga paman dan bibiku yang sangat berharga, yang telah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
“Kamu kenapa Maryam?” Tanya Bilqis kepadaku.
“Aku hanya tidak ingin  berpisah dengan kalian, aku pasti akan merindukan kalian.” Ucapku yang masih terisak. Mereka lalu memelukku dengan erat.
Setelah perpisaham dengan sahabat-sahabatku, aku segera menuju bus yang akan aku tumpangi untuk menuju ke Bandung. Lagi lagi aku memilih duduk di dekat jendela agar aku bisa melihat pemandangan. Aku pun sudah bisa membayangkan bagaimana ekspresi adikku Rasyid yang pastinya akan sangat senang melihatku kembali. Aku tertawa sendiri saat membayangkan adikku yang menggemaskan.
“Assalamualaikum ukhti bolehkah saya duduk disini?”
“Astaghfirullahaladzim!” Suara seseorang menyadarkanku.
“Haahh, Maaf saya kaget, ya silahkan.”

Aku menjawab tanpa melihat wajah orang disebelahku ini, kembali mata ku fokus keluar jendela. Bus mulai beranjak menuju ke Bandung, aku masih tenggelam dalam bayangan bagaimana kota kelahiranku ini, tentang masa-masa SMP, tentang ibu, tentang ayah, tentang adikku Rasyid, tentang paman dan bibiku, dan tentang dia yang telah melantunkan ayat-ayat Al Quran disebelahku saat aku akan menuju ke Yogyakarta waktu itu. Dia? Tunggu dulu, aku sepertinya sangat familiar dengan sosok yang menyapaku barusan. Aku menoleh kesebelahku. Dan ternyata yang disebelahku adalah dia. Aku terpaku melihat dia yang sedang sangat khusyuk membaca Al Quran ditangannya. Hatiku sangaat senang saat dia tersenyum kepadaku setelah menutup Al Quran nya.  Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.

Karya : Marisa Ayu Apsari

You May Also Like

0 komentar