Cerpen "Perpisahan adalah Akhir Pertemuan"
Perpisahan adalah
Akhir Pertemuan
Angin
berhembus meniup khimar panjang yang dipakai oleh seorang siswa dari salah satu
SMP dikota Bandung. Terlihat dia sedang
berbincang dengan siswa yang lain. Mereka terlihat sangat asik dan bahagia
dengan pembicaraan mereka. Namun, di sudut lain terlihat seorang siswa yang
sedang menatap kearah langit. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya. Siswa
berparas cantik dan sholehah tersebut bernama Maryam. Ternyata Maryam merupakan
seorang yatim piatu, orang tuanya meninggal dikarenakan kecelakaan mobil saat
perjalanan menuju rumah mereka.
Setelah
kepergian kedua orang tuanya, Maryam hidup bersama paman dan bibinya yang tidak
dianugrahi seorang anak. Adik lelakinya yang bernama Rasyid yang baru saja
duduk di bangku SMP usianya terpaut 2 tahun oleh Maryam. Saat ini usia Maryam
menginjak 15 tahun. Di tahun ini juga, Maryam akan lulus dari SMP dan akan
melanjutkan studinya di Pondok Pesantren.
“Kakak pergi ya Syid,
jaga paman dan bibi ya”
“Pasti aku akan menjaga
paman dan bibi kak, Tenang saja Rasyid kan sudah besar” Rasyid menjawab dengan
penuh percaya diri.
“Iyaa adekku yang manis,
jangan kangen sama kakak ya’’
“Dih, ngapain kangen
sama kakak’’ jawab Rasyid dengan wajah cueknya
‘’Dasar adek nyebelin,
manis dikit kenapa? Kakak kamu kan mau pergi jauh nih. Kamu ngga peluk kakak
nih? Nanti nyesel lo’’
‘’Yasudah Maryam adekmu
mungkin belum rela kalau kamu tinggal jauh jauh. Nanti kalau kamu pergi, dia
pasti akan mencarimu terus’’ Bibi muncul dari dapur membawakan bekal untuk
perjalananku nanti.
‘’Yasudah bi, Maryam
berangkat dulu ya. Maryam pergi dulu Assalamualaikum’’ tak lupa ia mecium
tangan bibi dan pamanku.
Aku
melangkah keluar rumah, dan meninggalkan Rasyid yang terlihat sangat sedih
dengan kepergianku. Paman dan bibiku mengantar hingga depan rumah. Perjalanan
baruku dimulai dari hari ini. Aku akan berusaha untuk mandiri. Kisah baruku
akan dimulai di Pondok Pesantren yang akan mengajarkanku ilmu agama dan
pengetahuan lainnya. Aku menyadari aku masih sangat kekurangan ilmu agama, dan
hal itu yang menyebabkan aku ingin masuk ke Pondok Pesantren. Aku ingin mendi
seseorang yang berubah, menjadi anak yang sholehah, dan berbakti dengan orang
tuaku. Meski orang tuaku telah tiada, namun aku yakin orang tuaku pasti akan
bangga.
Kini aku sedang duduk
didekat jendela agar bisa melihat pemandangan yang ada disekitarku. Aku akan
pergi ke kota Yogyakarta, disitulah aku akan memulai kisah baru dalam hidupku.
Aku masih duduk melihat lalu lalang orang-orang yang berada di Terminal, namun
hingga 10 menit bus masih belum berangkat. Bangku disebelahku pun masih kosong.
Aku memutuskan untuk memasang earphone
yang kuselipkan dibalik khimar yang ku kenakan, dan aku memutar surat Yusuf
yang ada di handphone ku.
“Assalamualaikum yaa
ukhti, bolehkah saya duduk disini?”
“Waalaikumsallam, oh iya
silahkan.”
Pemuda itu langsung
duduk disamping ku . Dan memperhatikan wanita yang sedari tadi hanya melihat
kearah pemandangan. Dan wanita yang ada disebelahnya terlihat sangat sedih.
Entah apa yang sedang dipikirkan wanita itu. Lelaki itu merasa kasihan dengan
wanita disebelahnya dan mencoba untuk mengajak berkenalkan.
“Permisi, kita tadi
belum berkenalan. Aku Haidar”
“Aku Maryam” Aku
langsung melepas headphoneku. Tak kusambut tangan nya, aku hanya menangkupkan
kedua tanganku di depan dada, aku sudah bertekad untuk mengubah diriku menjadi
lebih baik mulai dari sekarang. Lillahi taala. Dia menarik uluran tangannya
dengan kaku.
“Afwan, kamu berasal
dari mana?”
“Aku dari Bandung, kalau
kamu?”
“Aku juga dari Bandung.
Kamu mau kemana?”
“Ke Yogyakarta.
Sebenarnya aku akan sekolah disana.”
“Wah, aku juga akan
sekolah di Pesantren Nurul Huda”
“Hmm, sepertinya tujuan
kita sama, aku juga akan sekolah disana.Sampai berjumpa disana”
Aku
langsung mengalihkan pandanganku. Aku sangat kagum dengan lelaki disebelahku.
Dia telah membuatku merasa lebih baik. Namun, aku masih memikirkan kedua orang
tuaku. Aku sangat rindu dengan kedua orang tuaku. Terdengar lelaki disebelahku
sedang membacakan ayat ayat Al Quran yang dipegangnya. Terdengar dia sedang
membacakan surat Yusuf. Aku sangat menyukai suara merdunya saat melantunkan
ayat-ayat Al Quran dengan indah. Setelah sampai di Yogyakarta kami berpisah.
Aku akan mencari beberapa buku untuk aku pelajari. Setelah selesai membeli
buku, aku langsung menuju Pondok Pesantren.
“Mashaallah”
Ucapku seraya kagum melihat Pondok Pesantren ku yang ternyata memiliki
pemandangan yang amat indah.Pondok Pesantrenku yang letaknya agak dekat dengan
pantai, membuatku kagum atas ciptaan-Nya. Aku langsung masuk ke ruangan yang
memiliki beberapa tempat tidur. Ruangan itu kelak akan menjadi tempat untukku
istirahat selama berada di Pesantren ini. Disana telah ada beberapa santri
lain, mereka baru saja sampai dan menata bajunya di lemari yang telah
disediakan.
“Assalamualaikum ukhti”
“Waalaikumsallam ukhtii”
Ucap mereka serentak. Dan langsung menatapku dan berjabat tangan denganku. Dan
memperkenalkan diri
Aku
langsung menuju ke tempat tidurku dan aku langsung menata bajuku. Tiba-tiba
Annisa, Rahma dan Bilqis menyusul ke kamarku. Mereka lalu membantuku menata
bajuku. Selama berada di Pesantren ini, mereka bertiga selalu membantuku saat
aku memiliki kesulitan. Kami memang bersahabat, dan setiap salah satu dari kita
memiliki masalah, maka yang lain akan membantu untuk menyelesaikan masalah.
Pagi
itu diadakan kerja bakti untuk membersihkan lingkungan Pesantren. Kami berempat
dengan semangat membersihkan sekitar kamar kami. Tiba-tiba Annisa menjerit
ketakutan.
“Huwaaa akuu takutt.
Tolonggg aku Maryam” Teriak Annisa dengan menutup matanya.
“Kenapa Annisa, kamu
baik baik saja kan?” Tanyaku kepada Annisa, ternyata Bilqis dan Rahma juga
berlari mendekati Annisa.
“Ituu ituu di kakikuuuu,
adaa... Adaa cacinggg” Terdengar Annisa sedikit terisak karena kaget melihat
cacing
“Hahahaha, kamu ada ada
saja Annisa. Itu kan Cuma cacing.” Aku, Bilqis dan Rahma tertawa geli melihat
Annisa yang sangat ketakutan melihat cacing.
“Iiihhh tolonggg bawa
pergii cacingg ituu Maryam.” Aku segera membawa pergi cacing itu agar Annisa
tidak membuat keributan lagi.
Aku
merasa sangat bahagia memiliki sahabat seperti mereka. Mereka selalu
menghiburku saat aku merasa kesepian ditinggal orang tuaku. Suatu malam aku
duduk sendirian di taman Pesantren aku merindukan ayah dan ibuku. Mereka
bertiga menghampiriku dengan membawakan jaket untuk kupakai. Karena udara malam
hari ini sangat dingin. Mereka datang dengan tujuan untuk menghiburku,
kebiasaan mereka disaat melihat salah seorang sahabatnya sedih. Mereka lah yang
memberiku semangat agar aku dapat menjadi anak yang sholehah dan dapat mencapai
cita-cita. Sehingga, sekarang aku mendapat peringkat 3 besar. Sahabatku yang lain
pun juga memiliki prestasi yang tak kalah dariku. Kami selalu belajar bersama,
dan saling mengingatkan untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
Tak
terasa aku telah berada di Pesantren tersebut hampir selama 1 tahun. Dan aku
akan menerima hasil kerja kerasku setelah aku belajar di Pesantren ini. Aku
berharap ridho-Nya, agar aku dapat mendapat hasil yang memuaskan dan aku dapat
membanggakan orang tua serta paman dan bibiku yang telah membiayaiku selama
ini. Aku akan berubah menjadi diri yang lebih baik, dan itu ternyata berhasil
setelah aku menemukan sahabat seperti mereka. Walapun aku masih belum bisa
merubah diriku dengan sempurna, aku masih merasa aku belum sepenuhnya berubah
menjadi baik. Dan aku akan berusaha.
“Maryam, selamat yaa kamu
hebatt deh” Kompak ketiga sahabatku memberi ucapan selamat kepadaku.
“Syukron, kalian juga
ngga kalah hebat kok” Aku segera merangkul ketiga sahabatku.
Aku
tidak mau pergi dari ketiga sahabatku, aku masih ingin bersama sahabatku. Tak
terasa ternyata aku telah meneteskan air mata. Aku sangat tidak bisa kehilangan
mereka walaupun hanya dalam waktu singkat. Namun, aku juga sangat rindu dengan
adikku Rasyid. Yang pasti akan kangen dengan kakaknya ini. Juga paman dan
bibiku yang sangat berharga, yang telah kuanggap seperti orang tuaku sendiri.
“Kamu kenapa Maryam?”
Tanya Bilqis kepadaku.
“Aku hanya tidak
ingin berpisah dengan kalian, aku pasti
akan merindukan kalian.” Ucapku yang masih terisak. Mereka lalu memelukku
dengan erat.
Setelah
perpisaham dengan sahabat-sahabatku, aku segera menuju bus yang akan aku
tumpangi untuk menuju ke Bandung. Lagi lagi aku memilih duduk di dekat jendela
agar aku bisa melihat pemandangan. Aku pun sudah bisa membayangkan bagaimana
ekspresi adikku Rasyid yang pastinya akan sangat senang melihatku kembali. Aku
tertawa sendiri saat membayangkan adikku yang menggemaskan.
“Assalamualaikum ukhti
bolehkah saya duduk disini?”
“Astaghfirullahaladzim!”
Suara seseorang menyadarkanku.
“Haahh, Maaf saya kaget,
ya silahkan.”
Aku
menjawab tanpa melihat wajah orang disebelahku ini, kembali mata ku fokus
keluar jendela. Bus mulai beranjak menuju ke Bandung, aku masih tenggelam dalam
bayangan bagaimana kota kelahiranku ini, tentang masa-masa SMP, tentang ibu,
tentang ayah, tentang adikku Rasyid, tentang paman dan bibiku, dan tentang dia
yang telah melantunkan ayat-ayat Al Quran disebelahku saat aku akan menuju ke
Yogyakarta waktu itu. Dia? Tunggu dulu, aku sepertinya sangat familiar dengan
sosok yang menyapaku barusan. Aku menoleh kesebelahku. Dan ternyata yang
disebelahku adalah dia. Aku terpaku melihat dia yang sedang sangat khusyuk
membaca Al Quran ditangannya. Hatiku sangaat senang saat dia tersenyum kepadaku
setelah menutup Al Quran nya. Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.
Karya : Marisa Ayu Apsari
0 komentar