Cerpen "Kesusahan Sehari Cukuplah Sehari"

by - November 26, 2016

Kesusahan Sehari Cukuplah Sehari

—kalo nilai matematika lo jelek itu gak usah sepaneng—hidup lo gak selalu tentang matematika. Ada banyak hal di dunia ini yang gak bisa dihitung secara matematis. Kerja keras misalnya. (Adrian)
Jakarta, 2015.
Siang begitu terik, panasnya menyengat hingga ke ubun–ubun. Keringat mengucur deras membasahi pelipis, menembus seragam putih milik para siswa di ruangan itu. Kelas begitu lenggang. Penghuninya mengeluh. Kepanasan. Lapar. Lelah. Pelajaran matematika jam segini sungguh tidak efektif. Bak masuk telinga kanan  keluar telinga kiri.
Kipas di ruangan hanya seperti pajangan. Tidak terasa kinerjanya. 15 menit lagi pelajaran akan berakhir, tapi tidak ada tanda–tanda sang guru akan menyudahi materi yang disampaikan. Reya melengos, ia sudah menelan banyak ludah siang ini—mengatasi dehidrasi. Matanya menutup separuh, sungguh ia tidak sedikitpun paham materi yang  disampaikan.
Tett—Tett—tett  bel akhirnya berdering 15 menit kemudian, sesaat setelah Reya terkejut karena ia hampir menjatuhkan kepalanya—ketiduran.
“Besok minggu depan ulangan ya, anak–anak”. Kata sang guru seraya mengakhiri pelajaran. Reya melotot, tidak terima. Bagaimana bisa? Ini baru 2 kali pertemuan sang guru menjelaskan materi bab ini, dan langsung ulangan? Astaga. Sebenarnya bukan masalah waktu, masalahnya adalah Reya tidak paham sama sekali materi bab ini.
“Ahh rese emang ya, gak ngerti dah.”, maki Reya sembari memberesi buku di laci mejanya, beberapa teman sekelasnya yang masih bertugas piket menghadap ke arahnya.
“Kenapa, Rey? Dari tadi ngedumel mulu prasaan ya,”,  Sahut Elisa tiba– tiba.
“Yaiyalah, gimana gak ngedumel coba, emang kamu paham apa pelajaran Pak Wawan tadi? Ngasih rumus kagak, catetan juga kagak. Mana minggu depan ulangan lagi.”
“Yee.. main–main sama gue nanya begituan, kalo gue nih ya Rey, jelas.”
“Serius?  Yaudah besok aku main ke rumahmu ya El, ajarin matematika.”
“Jelas gak paham maksudnya, Rey.”
“Aelah, El. Kirain beneran paham.”
“Gak ngerti gue Rey, pemikiran guru–guru tuh suka aneh. Gue rasa tugas dan ulangan terus menerus tuh bikin otak lemot. Udah fisik cape, otak juga ikut dipaksa mikir. Gak efektif. Belajar hari ini belom paham udah ditambahin materi baru lagi. Ulangan sama tugas tuh cuma ajang pencarian nilai, bukan uji pemahaman. Paling–paling sebulan lagi lo lo semua juga udah lupa materinya. Lah, wasted amat.”
“Bodo amat, capek gue, El”, Reya menarik tas nya seraya keluar kelas.
“Lah, main pergi aja nih bocah, mau kemana, Rey?”
“Basecamp DA” , teriak Reya sambil lari menuju basecamp.
Basecamp sepertinya sudah menjadi tempat favorit Reya, setiap pulang sekolah  kalo belum ke BC dulu rasanya kurang lengkap. Sesampainya di basecamp Reya buru– buru menghempaskan tubuhnya di kursi—tidur. Hingga belum semenit Reya memejamkan mata sebuah tangan mengguncangkan tubuhnya.
“Rey, woi, bangun dong.”  Seseorang mengggoyang–goyangkan tubuhnya yang justru dibalas Reya dengan memperpulas tidurnya.
“Rey, 2 hitungan gak bangun, ember air melayang nih.”
Reya membuka paksa matanya, kawan di hadapannya ini kurang ajar sekali. Astaga. Belum semenit semenjak Reya memejamkan mata sudah dipaksa bangun.
“APAAN SIH AH, BARU SEMENIT BELUM ADA JUGA UDAH DIBANGUNIN.” Semprot Reya frustasi.
“Belum semenit apanya. Astaga. Liat tuh jam.” Rania melotot. Jam setengah 6.
“Oh yaudah,  maap deh.
“Kebiasaan dah, tadi tuh HP mu bunyi terus, kayaknya mama-mu nelpon deh.”
“Terus kenapa gak kamu angkat?”
“Udah.”
“Terus?”
“Coba telpon balik deh, males ngejelasin.”
Reya segera mengambil ponselnya, mencari-cari kontak Mamanya di ponsel putih miliknya.
“Halo, ma ?” katanya sedetik setelah telepon diangkat
“REYAAA PULANG SEKARANG. TAU WAKTU DONG. KAMU TUH ANAK PEREMPUAN.”
“Ya.” Reya segera memutuskan sampungan telponnya. Bisa lebih parah kalau dilanjutin.
“BELIAA, ANAA. JAHAT BANGET YA SUMPAH.”
“Paan sih, Rey? teriak–teriak mulu”, kata Adrian yang tiba–tiba muncul di pintu basecamp.
“Tau tuh, nanya aja sama Belia sama Ana.
“Rey, makan yuk”, ajak Adrian sambil berjalan ke arah Reya.
“Gak. Mau pulang.”
“Yaelah, Rey. Tumben jam segini udah balik.”
“Habis dimarahin, ga baik anak perempuan pulang malem.”
“Sok alim”
“Mending sok alim, daripada ngaku–ngaku alim.” Reya kemudian meninggalkan Basecamp dengan keadaan pikiran carut marut. Bertemu Adrian memang selalu membuatnya harus siap adu mulut ditambah lagi harus berhadapan dengan matematika. Matematika bukan bidang yang ia sukai. Sungguh. Ribet—pikirnya.
Senin pagi.
Jangan lupa senyum, Rey.
Reya tersenyum membaca pesan singkat itu, menolak membalasnya. Keadaan hatinya sedang buruk sekarang. 2 hari lagi ulangan matematika, dan Reya sungguh tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak paham sama sekali bab yang disampaikan. Bukan tanpa usaha belajar—tapi memang tidak ada waktu. Sekolahnya memang disiplin sekali. Sampai sekolah harus jam 6.30 dan baru pulang pukul 3.00 sore dengan beban PR yang begitu banyak. Belum lagi urusan organisasi yang tidak bisa kelar dalam sehari. Sebenarnya Reya lebih suka organisasi—lebih santai. Gak menuntut. Tapi apa boleh buat? Sekolahnya tidak terlalu mendukung ekstrakulikuler atau organisasi berjalan.
“Kusut amat muka lo, Rey”, sapa Elisa ketika Reya baru sampe depan kelas.
“Frustasi. Sama matematika.”
“YaTuhan. Gausah dipikir–pikir amat kali, Rey. Hidup lo tu gak cuma tentang matematika.”
Reya hanya diam. Terlanjur frustasi, Ia segera mengambil Novel di pojok kelas—membacanya. Berhenti ketika jam sudah menunjukkan waktu untuk upacara. Seharian ini ia melewati pelajaran dengan keadaan hati yang tidak terlalu buruk. Pulang sekolah seperti biasa ia segera berlari menuju basecamp—bukan lagi untuk tidur.
“Hai, Rey”, sapa Adrian ketika Reya memasuki basecamp. Reya mengkerut, ia benar – benar tidak mau bertemu Adrian hari ini, semalam ia habis adu mulut melalui WhatsApp.
“Pa? gausah sok nyapa. Belia, ayo buruan, ntar keburu mulai”, Balas Reya kemudian.
“Pada mau kemana?”, Potong Adrian kemudian.
“Reya mau masuk ke hati lo tuh, Yan.” Canda Belia.
“Cuih, Ogah.”, Balas Reya cepat sambil meninggalkan basecamp, Belia buru–buru mengejar di belakangnya.
Sore ini, Reya dan Belia mengikuti pelatihan SAKA (Satuan Karya) Bakti Husada—kesehatan. Ini merupakan komunitas bakti masyarakat dalam PRAMUKA. Entah mengapa, Reya lebih suka kegiatan seperti ini, dibanding harus memperhatikan pelajaran matematika—membosankan—pikirnya. Reya sungguh menikmati momen ini. Ketika ia bisa belajar tentang sesuatu hal yang berbeda dari teman-temannya. Bukan tentang pelajaran di kelas, tapi tentang pengabdian. Tentang bagaimana kita harus menolong orang lain tanpa pamrih. Reya tidak pernah tau—bahwa esok hari pengalaman inilah yang justru membawanya ke kesuksesan.

Rabu.
Reya memasuki ruangan kelas dengan jalan yang super cepat. Astaga. Hari ini ulangan matematika. Entah kenapa, Reya takut sekali dengan pelajaran ini. Semalam Reya sudah mengerjakan soal—sungguh, Reya tidak berbohong. Bahkan ia belajar selepas maghrib hingga jam setengah 2 pagi. Ditemani 2 cangkir kopi yang membuatnya betah membuka mata hingga pagi. Reya sudah percaya diri sekali bisa mengerjakan soal–soal yang diberikan.
13.30.
Pak wawan benar–benar masuk kelas. Mereview materi sebentar—kemudian menyuruh  murid-muridnya mengeluarkan selembar kertas. Reya sumringah, dia yakin sekali. 2 menit kemudian Pak Wawan sudah sibuk membagikan lembar soal. Reya sudah selesai menuliskan nama ketika selembar soal sampai di mejanya. Cepat–cepat Reya membukanya. Langsung mengerjakan nomor satu.
5 menit berlalu. Coret–coretan Reya penuh. Nihil. Reya tidak menemukan jawaban nomor satu, angkanya aneh. 10 menit kemudian Reya sudah pindah mengerjakan nomor dua—tentu saja meninggalkan nomor satu. Tapi sama saja, Nihil. Rumusnya mentok—tidak ketemu jawabannya. Reya melanjutkan ke nomor tiga, gambar kubus di hadapannya sudah seperti melayang–layang. Soal dihadapnnya benar–benar membuatnya frustasi. Keringat dingin sudah membasahi bajunya. Bagaimana bisa? Semalam ia sudah berusaha keras belajar mati–matian. Semua soal ditebas habis olehnya, dan sekarang? Astaga. Lima soal dihadapannya seperti berlipat ganda menjadi lima puluh.
Sedetik kemudian matanya tak sengaja melirik jawaban milik Seva—teman sebangkunya, tapi kemudian Reya sadar. Dia harus mengerjakan sendiri.
Ya Allah, Reya sudah belajar tadi malam. Reya sungguh sudah belajar. Ya Allah, Reya sungguh tidak ingin mencontek, Reya percaya Allah sudah melihat Reya berusaha, bantu Reya Ya Allah.
Waktu berakhir ketika Reya selesai menjawab soal nomor lima—jawaban seadanya. Pak Wawan segera mengambil jawaban, membagikan acak kembali jawaban–jawaban para siswanya. Langsung koreksi. Reya mengeluh, moodnya sudah sangat buruk kali ini. Seva disampingnya juga terlihat frustasi, tapi bedanya tidak panik seperti Reya. Pak Wawan segera menuliskan jawaban lengkap dengan caranya di papan tulis—Reya sudah seperti ingin menangis kali ini. Jawaban yang ia tulis hanya ada 2 nomor yang benar–benar sama persis  seperti tulisan Pak Wawan. Dan hasilnya? Astaga. Bahkan nilai Reya tidak melebihi angka enam. Pulang sekolah Reya segera lari ke basecamp, ia tidak peduli ada siapa saja disitu. Melempar tasnya ke meja dan membanting tubuhnya ke kursi—menunduk—kemudian tangisnya benar – benar pecah.
Adrian, Belia, Maya, Rizki yang sudah ada di meja bundar tersebut tersentak. Reya menangis—seorang Reya yang biasanya cuek–cuek saja kali ini menangis. Maya dan Belia segera mendekat ke arah Reya. Mengelus–elus puncak kepalanya—bertanya kenapa. Yang ditanya justru seenggukan—bingung menjawab apa. Rizki hanya melihat aksi di depannya itu, sementara Adrian malah keluar basecamp entah kemana.
Setengah jam setelahnya, Reya sudah mulai tenang—yang justru malah ketiduran di meja basecamp. Tidurnya pulas sekali. Satu jam setelahnya Reya terbangun, kepalanya berat sekali. Matanya juga susah dibuka. Dan kesalnya lagi—orang pertama yang dilihatnya justru Adrian. Ah, sial—pikirnya. “Tidurnya pules amat, tadi ada gempa loh”, Adrian yang melihat Reya bangun langsung menyelutuk.
“Nih, minum dulu, gausah jaim. Gue tau lo haus”, kata Adrian sambil menyodorkan segelas  teh hangat. Reya meneguknya perlahan.
“Yang lain kemana? Tumben basecamp sepi.”
“Pada cari bahan buat kemah bulan depan, yang disini tinggal gue, elo, Maya, Rizki, sama Sisil tuh di depan.
“Terus lo ngapain disini?”
“Liatin lo”
“Oh.”
“Ngapain nangis?”
“Ngg..” Reya hendak menjawab ketika tiba – tiba beberapa kawannya masuk ke basecamp.
“Udah bangun Rey?” “Kenapa Nangis Rey?” dan beberapa pertanyaan lain yang serentak disodorkan kepada Reya.
“Gapapa” Jawab Reya pendek.
“Gausah sok gapapa lo Rey, nangis tuh pasti ada alesannya.”, Kata Adrian sewot yang dibalas pelototan Reya. Ia sungguh tidak ingin bertengkar hari ini.
“Iya, Rey. Cerita lah. Kita kan keluarga.”
“Ngg.. gausah deh.”
“Siapa tau kita bisa bantu, kamu gak percaya sama keluarga sendiri, Rey?”
“Eh.. bukan gitu.”
“Yaudah, makanya cerita.”
“Ngg.. ya intinya aku kecewa.”
“Widihh.. ngeri nih Reya. Kecewa sama Adrian  ya, Rey?”
“Apaan bawa–bawa nama gue.”, Adrian yang merasa terpanggil namanya membela diri.
“Sama matematika.”
“Napa emang matematika?”
“Dari dulu tuh, gue selalu merhatiin pelajaran matenatika. PR juga selalu gue kerjain—meskipun banyak nanya. Kalo ulangan juga belajar sampe malem dan gue rela gak belajar pelajaran lain demi matematika. Dan hasilnya? Nilainya udah kayak anak kecil belajar berhitung. Empat lima paling mentok di enam. Gue tuh jadi ngerasa—bodo banget gitu ya. Salah apa coba? Apa iya harus pake nyontek biar hasilnya bagus?”
“lo salah besar, Rey..” Potong Adirian langsung.
“..Lo jangan pernah sekalipun nyontek—dengan cara apapun. Lo emang bisa puas setelah tau nilai lo bagus. Tapi setelahnya—lo akan bener–bener nyesel. Sebenernya bukan cuma itu yang gue takutin. Gue takutnya lo sekali nyontek akan ketagihan nyontek terus, Rey—kebiasaan ngandelin orang lain. Gimanapun,  nyontek itu sama aja korupsi.”
“Ya, tapi nilai matematika gue jelek terus, mama gue bisa koor Indonesia raya tiap pagi ke gue.
“Matematika doang kan? Pelajaran lain baik–baik aja kan? Biologi misalnya. Lo gak harus pinter matematika buat jadi dokter, lo gak harus pinter matematika buat jadi presiden. Lo tau aja udah cukup. Gak semua pekerjaan tuh nuntut pinter matematika, Rey. Kesalahannya adalah..”
“Apa?”
“Kita hidup di negara yang memandang kecerdasan siswanya dilihat dari nilai matematika mereka. Sementara bapak gue SMA aja gak lulus, tapi sekarang? Bisa jadi pengusaha sukses.”
“Tapi gue udah usaha buat dapetin nilai bagus.”
“Hasil tuh ga selalu bisa dilihat sekarang. kalo nilai matematika lo jelek itu gak usah sepaneng—hidup lo gak selalu tentang matematika. Ada banyak hal di dunia ini yang gak bisa dihitung secara matematis. Kerja keras misalnya.”
“Tapi orangtua gue, selalu ngeliat hasil, tanpa ngeliat gimana usaha gue ngedapetinnya. So, itulah yang ngebuat gue kepikiran buat nyontek.”
“Hah, dengan cara kayak begitu lo yakin masa depan lo bagus ? Rey, kalo lo mau punya masa depan yang cerah, yang bagus, kenapa harus pakai cara yang jelek buat ngedapetinnya?  Norak, Rey.”
Adrian terdiam sejenak. 2 detik kemudian melanjutkan kata–katanya.
“... Lo tiap pulang sekolah seminggu 2x ikut saka, tiap sabtu lo bantuin orang–orang di buat sosialisasi kesehatan. Malemnya, lo masih maksain diri buat belajar. Di usia lo segini, lo udah belajar mengabdi tuh udah keren. Percaya sama gue. Tuhan gak buta, Rey. Tunggu 5 sampe 10  tahun lagi. Apa yang akan terjadi di kehidupan lo.”
Skak mat—semua perkataan Adrian (mungkin) benar. Teman–teman Reya diruangan itu melongo—selama ini mereka tidak tahu bahwa Adrian bisa sebijak itu. Sementara Reya hanya terdiam—merenungi apa yang dikatakan Adrian—yang justru semakin ia membantah, hatinya berkata semua perkataan Adrian benar.
“Inget, Rey. Gaada satupun usaha yang sia–sia. Hasil gak akan menghianati kerja keras”, Kata Adrian ketika mengakhiri kalimatnya.
Sore itu langit cerah—tanpa awan. Semoga pertanda baik.
Jakarta, 2022
Reya hendak melepaskan jas dokter miliknya ketika asistennya mengatakan bahwa masih tersisa satu pasien lagi. Reya mengangguk mengiyakan. Tersenyum ketika seorang pasien masuk ke ruangannya dengan memakai masker. Mungkin flu—pikirnya.
Pasien itu duduk di hadapan Reya. Reya hendak bertanya sontak terkejut ketika pasien di depannya membuka masker.
Ini Adrian, kan?
“Adrian?”, kata Reya dengan nada bertanya, yang dipanggil justru cekikikan.
“Santai aja keles mukanya, Rey. Jadi gimana? Kata Gue dulu bener, kan?”
Reya tertawa.
“Jadi lo jauh–jauh kesini Cuma mau nyampein itu doang? Rese lo, ah.”
Adrian ikut tertawa.
“Kalo iya kenapa?”
“Thanks a lot, Yan. I was so lucky to have a friend like you.”, Kata Reya sambil tersenyum.
“Lebay, lo.”, Balas Adrian beberapa detik kemudian dan membuat sontak mengerucutkan mulutnya dan memukulkan bantal leher dibelakangnya pada Adrian.
Dan lagi, seperti bernostalgia, mereka justru kembali bertengkar seperti hari – hari di tujuh tahun lalu.



Karya : Hafidhania Penadi

You May Also Like

0 komentar