Cerpen "Kesusahan Sehari Cukuplah Sehari"
Kesusahan
Sehari Cukuplah Sehari
—kalo nilai matematika
lo jelek itu gak usah sepaneng—hidup lo gak selalu tentang matematika. Ada
banyak hal di dunia ini yang gak bisa dihitung secara matematis. Kerja keras
misalnya. (Adrian)
Jakarta, 2015.
Siang
begitu terik, panasnya menyengat hingga ke ubun–ubun. Keringat mengucur deras
membasahi pelipis, menembus seragam putih milik para siswa di ruangan itu.
Kelas begitu lenggang. Penghuninya mengeluh. Kepanasan. Lapar. Lelah. Pelajaran
matematika jam segini sungguh tidak efektif. Bak masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Kipas
di ruangan hanya seperti pajangan. Tidak terasa kinerjanya. 15 menit lagi
pelajaran akan berakhir, tapi tidak ada tanda–tanda sang guru akan menyudahi
materi yang disampaikan. Reya melengos, ia sudah menelan banyak ludah siang
ini—mengatasi dehidrasi. Matanya menutup separuh, sungguh ia tidak sedikitpun
paham materi yang disampaikan.
‘Tett—Tett—tett’
bel akhirnya berdering 15 menit kemudian, sesaat setelah Reya terkejut
karena ia hampir menjatuhkan kepalanya—ketiduran.
“Besok minggu depan
ulangan ya, anak–anak”.
Kata sang guru seraya mengakhiri pelajaran. Reya melotot, tidak terima.
Bagaimana bisa? Ini
baru 2 kali pertemuan sang guru menjelaskan materi bab ini, dan langsung
ulangan? Astaga. Sebenarnya bukan masalah waktu, masalahnya adalah Reya tidak
paham sama sekali materi bab ini.
“Ahh rese emang ya, gak
ngerti dah.”, maki
Reya sembari memberesi buku di laci mejanya, beberapa teman sekelasnya yang
masih bertugas piket menghadap ke arahnya.
“Kenapa, Rey? Dari tadi
ngedumel mulu prasaan ya,”,
Sahut Elisa tiba– tiba.
“Yaiyalah, gimana gak
ngedumel coba, emang kamu paham apa pelajaran Pak Wawan tadi? Ngasih rumus kagak, catetan juga
kagak. Mana minggu depan ulangan lagi.”
“Yee.. main–main sama
gue nanya begituan, kalo gue nih ya Rey,
jelas.”
“Serius? Yaudah
besok aku main ke rumahmu ya El, ajarin matematika.”
“Jelas gak paham
maksudnya, Rey.”
“Aelah, El. Kirain
beneran paham.”
“Gak ngerti gue Rey,
pemikiran guru–guru tuh suka aneh. Gue rasa tugas dan ulangan terus menerus tuh
bikin otak lemot. Udah fisik cape, otak juga ikut dipaksa mikir. Gak efektif.
Belajar hari ini belom paham udah ditambahin materi baru lagi. Ulangan sama
tugas tuh cuma
ajang pencarian
nilai, bukan uji pemahaman. Paling–paling sebulan lagi lo lo semua juga udah
lupa materinya. Lah, wasted amat.”
“Bodo amat, capek gue,
El”,
Reya menarik tas nya seraya keluar kelas.
“Lah, main pergi aja nih
bocah, mau kemana, Rey?”
“Basecamp DA” , teriak
Reya sambil lari menuju basecamp.
Basecamp sepertinya
sudah menjadi tempat favorit Reya, setiap pulang sekolah kalo
belum ke BC dulu rasanya kurang lengkap. Sesampainya di basecamp Reya buru–
buru menghempaskan tubuhnya di kursi—tidur. Hingga belum semenit Reya
memejamkan mata sebuah tangan mengguncangkan tubuhnya.
“Rey, woi, bangun
dong.” Seseorang mengggoyang–goyangkan
tubuhnya yang justru dibalas Reya dengan memperpulas tidurnya.
“Rey, 2 hitungan gak
bangun, ember air melayang nih.”
Reya membuka paksa
matanya, kawan
di hadapannya
ini kurang ajar sekali. Astaga. Belum semenit semenjak Reya memejamkan mata sudah dipaksa bangun.
“APAAN SIH AH, BARU
SEMENIT BELUM ADA JUGA UDAH DIBANGUNIN.” Semprot Reya frustasi.
“Belum semenit apanya.
Astaga. Liat tuh jam.” Rania melotot. Jam setengah 6.
“Oh yaudah, maap deh.”
“Kebiasaan dah, tadi tuh
HP mu bunyi terus, kayaknya mama-mu nelpon deh.”
“Terus kenapa gak kamu
angkat?”
“Udah.”
“Terus?”
“Coba telpon balik deh, males ngejelasin.”
Reya segera mengambil
ponselnya, mencari-cari
kontak Mamanya di ponsel putih miliknya.
“Halo, ma ?” katanya
sedetik setelah telepon
diangkat
“REYAAA PULANG SEKARANG.
TAU WAKTU DONG. KAMU TUH ANAK PEREMPUAN.”
“Ya.” Reya segera
memutuskan sampungan telponnya.
Bisa lebih parah kalau dilanjutin.
“BELIAA, ANAA. JAHAT
BANGET YA SUMPAH.”
“Paan sih, Rey?
teriak–teriak mulu”,
kata Adrian yang tiba–tiba muncul
di pintu basecamp.
“Tau tuh, nanya aja sama Belia sama Ana.”
“Rey, makan yuk”, ajak Adrian sambil berjalan ke arah
Reya.
“Gak. Mau pulang.”
“Yaelah, Rey. Tumben jam segini udah
balik.”
“Habis dimarahin, ga
baik anak perempuan pulang malem.”
“Sok alim”
“Mending sok alim,
daripada ngaku–ngaku alim.” Reya kemudian meninggalkan Basecamp dengan keadaan
pikiran carut marut. Bertemu Adrian memang selalu membuatnya harus siap adu
mulut ditambah lagi harus berhadapan dengan matematika. Matematika bukan bidang
yang ia sukai. Sungguh. Ribet—pikirnya.
Senin pagi.
Jangan lupa senyum, Rey.
Reya
tersenyum membaca pesan singkat itu, menolak membalasnya. Keadaan hatinya
sedang buruk sekarang. 2 hari lagi ulangan matematika, dan Reya sungguh tidak
tahu harus bagaimana. Dia tidak paham sama sekali bab yang disampaikan. Bukan
tanpa usaha belajar—tapi memang tidak ada waktu. Sekolahnya memang disiplin
sekali. Sampai sekolah harus jam 6.30 dan baru pulang pukul 3.00 sore dengan
beban PR yang begitu banyak. Belum lagi urusan organisasi yang tidak bisa kelar
dalam sehari. Sebenarnya Reya lebih suka organisasi—lebih santai. Gak menuntut.
Tapi apa boleh buat? Sekolahnya tidak terlalu mendukung ekstrakulikuler atau
organisasi berjalan.
“Kusut amat muka lo,
Rey”, sapa Elisa ketika Reya baru sampe depan kelas.
“Frustasi. Sama
matematika.”
“YaTuhan. Gausah dipikir–pikir amat kali, Rey. Hidup lo tu gak
cuma tentang matematika.”
Reya
hanya diam. Terlanjur frustasi, Ia segera mengambil Novel di pojok kelas—membacanya.
Berhenti ketika jam sudah menunjukkan waktu untuk upacara. Seharian ini ia
melewati pelajaran dengan keadaan hati yang tidak terlalu buruk. Pulang sekolah
seperti biasa ia segera berlari menuju basecamp—bukan lagi untuk tidur.
“Hai, Rey”, sapa Adrian ketika Reya memasuki
basecamp. Reya mengkerut, ia benar – benar tidak mau bertemu Adrian hari ini,
semalam ia habis adu mulut melalui WhatsApp.
“Pa? gausah sok nyapa.
Belia, ayo buruan, ntar keburu mulai”,
Balas Reya kemudian.
“Pada mau kemana?”, Potong
Adrian kemudian.
“Reya mau masuk ke hati
lo tuh, Yan.” Canda Belia.
“Cuih, Ogah.”, Balas Reya cepat sambil
meninggalkan basecamp, Belia buru–buru mengejar di belakangnya.
Sore
ini, Reya dan Belia mengikuti pelatihan SAKA (Satuan Karya) Bakti Husada—kesehatan.
Ini merupakan komunitas bakti masyarakat dalam PRAMUKA. Entah mengapa, Reya
lebih suka kegiatan seperti ini, dibanding harus memperhatikan pelajaran
matematika—membosankan—pikirnya. Reya sungguh menikmati momen ini. Ketika ia
bisa belajar tentang sesuatu hal yang berbeda dari teman-temannya. Bukan tentang pelajaran di
kelas, tapi tentang pengabdian. Tentang bagaimana kita harus menolong orang
lain tanpa pamrih. Reya tidak pernah tau—bahwa esok hari pengalaman inilah yang
justru membawanya ke kesuksesan.
Rabu.
Reya
memasuki ruangan kelas dengan jalan yang super cepat. Astaga. Hari ini ulangan
matematika. Entah kenapa, Reya takut sekali dengan pelajaran ini. Semalam Reya
sudah mengerjakan soal—sungguh, Reya
tidak berbohong. Bahkan ia belajar selepas maghrib hingga jam setengah 2 pagi.
Ditemani 2 cangkir kopi yang membuatnya
betah membuka mata hingga pagi. Reya sudah percaya diri sekali bisa mengerjakan
soal–soal yang diberikan.
13.30.
Pak
wawan benar–benar masuk kelas. Mereview
materi sebentar—kemudian menyuruh
murid-muridnya mengeluarkan selembar kertas. Reya sumringah, dia yakin
sekali. 2 menit kemudian Pak Wawan sudah sibuk membagikan lembar soal. Reya
sudah selesai menuliskan nama ketika selembar soal sampai di mejanya. Cepat–cepat
Reya membukanya. Langsung mengerjakan nomor satu.
5
menit berlalu. Coret–coretan Reya penuh. Nihil. Reya tidak menemukan jawaban
nomor satu, angkanya aneh. 10 menit kemudian Reya sudah pindah mengerjakan nomor
dua—tentu saja meninggalkan nomor satu. Tapi sama saja, Nihil. Rumusnya
mentok—tidak ketemu jawabannya. Reya melanjutkan ke nomor tiga, gambar kubus di
hadapannya sudah seperti melayang–layang. Soal dihadapnnya benar–benar
membuatnya frustasi. Keringat dingin sudah membasahi bajunya. Bagaimana bisa? Semalam ia sudah berusaha keras
belajar mati–matian. Semua soal ditebas habis olehnya, dan sekarang? Astaga.
Lima soal dihadapannya
seperti berlipat ganda menjadi lima puluh.
Sedetik
kemudian matanya tak sengaja melirik jawaban milik Seva—teman sebangkunya, tapi
kemudian Reya sadar. Dia harus mengerjakan sendiri.
Ya Allah, Reya sudah
belajar tadi malam. Reya sungguh sudah belajar. Ya Allah, Reya sungguh tidak
ingin mencontek, Reya percaya Allah sudah melihat Reya berusaha, bantu Reya Ya
Allah.
Waktu
berakhir ketika Reya selesai menjawab soal nomor lima—jawaban seadanya. Pak
Wawan segera mengambil jawaban, membagikan acak kembali jawaban–jawaban para
siswanya. Langsung koreksi. Reya mengeluh, moodnya sudah sangat buruk kali ini.
Seva disampingnya juga terlihat frustasi, tapi bedanya tidak panik seperti
Reya. Pak Wawan segera menuliskan jawaban lengkap dengan caranya di papan
tulis—Reya sudah seperti ingin menangis kali ini. Jawaban yang ia tulis hanya
ada 2 nomor yang benar–benar sama persis
seperti tulisan Pak Wawan. Dan hasilnya? Astaga. Bahkan nilai Reya tidak melebihi angka enam. Pulang
sekolah Reya segera lari ke basecamp, ia tidak peduli ada siapa saja disitu.
Melempar tasnya ke meja dan membanting tubuhnya ke kursi—menunduk—kemudian
tangisnya benar – benar pecah.
Adrian,
Belia, Maya, Rizki yang sudah ada di meja bundar tersebut tersentak. Reya menangis—seorang Reya yang biasanya
cuek–cuek saja kali ini menangis. Maya dan Belia segera mendekat ke arah Reya.
Mengelus–elus puncak kepalanya—bertanya kenapa. Yang ditanya justru
seenggukan—bingung menjawab apa. Rizki hanya melihat aksi di depannya itu,
sementara Adrian malah keluar basecamp entah kemana.
Setengah jam setelahnya,
Reya sudah mulai tenang—yang justru malah ketiduran di meja basecamp. Tidurnya
pulas sekali. Satu jam setelahnya Reya terbangun, kepalanya berat sekali.
Matanya juga susah dibuka. Dan kesalnya lagi—orang pertama yang dilihatnya
justru Adrian. Ah, sial—pikirnya.
“Tidurnya pules amat, tadi ada gempa loh”, Adrian yang melihat Reya bangun
langsung menyelutuk.
“Nih, minum dulu, gausah
jaim. Gue tau lo haus”,
kata Adrian sambil menyodorkan segelas
teh hangat. Reya meneguknya perlahan.
“Yang lain kemana? Tumben basecamp sepi.”
“Pada cari bahan buat
kemah bulan depan, yang disini tinggal gue, elo, Maya, Rizki, sama Sisil tuh di
depan.”
“Terus lo ngapain
disini?”
“Liatin lo”
“Oh.”
“Ngapain nangis?”
“Ngg..” Reya hendak
menjawab ketika tiba – tiba beberapa kawannya masuk ke basecamp.
“Udah bangun Rey?”
“Kenapa Nangis Rey?” dan beberapa pertanyaan lain yang serentak disodorkan
kepada Reya.
“Gapapa” Jawab Reya
pendek.
“Gausah sok gapapa lo
Rey, nangis tuh pasti ada alesannya.”,
Kata Adrian sewot yang dibalas pelototan Reya. Ia sungguh tidak ingin bertengkar
hari ini.
“Iya, Rey. Cerita lah.
Kita kan keluarga.”
“Ngg.. gausah deh.”
“Siapa tau kita bisa
bantu, kamu gak percaya sama keluarga sendiri, Rey?”
“Eh.. bukan gitu.”
“Yaudah, makanya
cerita.”
“Ngg.. ya intinya aku
kecewa.”
“Widihh.. ngeri nih
Reya. Kecewa sama Adrian ya, Rey?”
“Apaan bawa–bawa nama
gue.”,
Adrian yang merasa terpanggil namanya membela diri.
“Sama matematika.”
“Napa emang matematika?”
“Dari dulu tuh, gue
selalu merhatiin pelajaran matenatika. PR juga selalu gue kerjain—meskipun
banyak nanya. Kalo ulangan juga belajar sampe malem dan gue rela gak belajar
pelajaran lain demi matematika. Dan hasilnya? Nilainya udah kayak anak kecil
belajar berhitung. Empat lima paling mentok di enam. Gue tuh jadi ngerasa—bodo banget gitu ya. Salah apa
coba? Apa
iya harus pake nyontek biar hasilnya bagus?”
“lo salah besar, Rey..”
Potong Adirian langsung.
“..Lo jangan pernah
sekalipun nyontek—dengan cara apapun. Lo emang bisa puas setelah tau nilai lo
bagus. Tapi setelahnya—lo akan bener–bener nyesel. Sebenernya bukan cuma itu yang gue takutin. Gue
takutnya lo sekali nyontek akan ketagihan nyontek terus, Rey—kebiasaan
ngandelin orang lain. Gimanapun,
nyontek itu sama aja korupsi.”
“Ya, tapi nilai
matematika gue jelek terus, mama gue bisa koor Indonesia raya tiap pagi ke gue.”
“Matematika doang kan?
Pelajaran lain baik–baik aja kan? Biologi misalnya. Lo gak harus pinter
matematika buat jadi dokter, lo gak harus pinter matematika buat jadi presiden.
Lo tau aja udah cukup. Gak semua pekerjaan tuh nuntut pinter matematika, Rey.
Kesalahannya adalah..”
“Apa?”
“Kita hidup di negara
yang memandang kecerdasan siswanya dilihat dari nilai matematika mereka.
Sementara bapak gue SMA aja gak lulus, tapi sekarang? Bisa jadi pengusaha
sukses.”
“Tapi gue udah usaha
buat dapetin nilai bagus.”
“Hasil tuh ga selalu
bisa dilihat sekarang. kalo nilai matematika lo jelek itu gak usah
sepaneng—hidup lo gak selalu tentang matematika. Ada banyak hal di dunia ini
yang gak bisa dihitung secara matematis. Kerja keras misalnya.”
“Tapi orangtua gue,
selalu ngeliat hasil, tanpa ngeliat gimana usaha gue ngedapetinnya. So, itulah
yang ngebuat gue kepikiran buat nyontek.”
“Hah, dengan cara kayak
begitu lo yakin masa depan lo bagus ? Rey, kalo lo mau punya masa depan yang
cerah, yang bagus, kenapa harus pakai cara yang jelek buat ngedapetinnya? Norak,
Rey.”
Adrian terdiam sejenak.
2 detik kemudian melanjutkan kata–katanya.
“... Lo tiap pulang
sekolah seminggu 2x ikut saka, tiap sabtu lo bantuin orang–orang di buat
sosialisasi kesehatan. Malemnya, lo masih maksain diri buat belajar. Di usia lo
segini, lo udah belajar mengabdi tuh udah keren. Percaya sama gue. Tuhan gak
buta, Rey. Tunggu 5 sampe 10 tahun lagi.
Apa yang akan terjadi di kehidupan lo.”
Skak mat—semua perkataan
Adrian (mungkin) benar. Teman–teman Reya diruangan itu melongo—selama ini
mereka tidak tahu bahwa Adrian bisa sebijak itu. Sementara Reya hanya
terdiam—merenungi apa yang dikatakan Adrian—yang justru semakin ia membantah,
hatinya berkata semua perkataan Adrian benar.
“Inget, Rey. Gaada
satupun usaha yang sia–sia. Hasil gak akan menghianati kerja keras”, Kata
Adrian ketika mengakhiri kalimatnya.
Sore itu langit
cerah—tanpa awan. Semoga pertanda baik.
Jakarta, 2022
Reya hendak melepaskan
jas dokter miliknya ketika asistennya mengatakan bahwa masih tersisa satu
pasien lagi. Reya mengangguk mengiyakan. Tersenyum ketika seorang pasien masuk
ke ruangannya dengan memakai masker. Mungkin flu—pikirnya.
Pasien itu duduk di hadapan
Reya. Reya hendak bertanya sontak terkejut ketika pasien di depannya membuka
masker.
Ini Adrian, kan?
“Adrian?”, kata Reya dengan nada bertanya,
yang dipanggil justru cekikikan.
“Santai aja keles
mukanya, Rey. Jadi gimana? Kata
Gue dulu bener, kan?”
Reya tertawa.
“Jadi lo jauh–jauh kesini Cuma mau nyampein
itu doang? Rese lo,
ah.”
Adrian ikut tertawa.
“Kalo iya kenapa?”
“Thanks a lot, Yan. I
was so lucky to have a friend like you.”, Kata Reya sambil tersenyum.
“Lebay, lo.”, Balas Adrian beberapa detik
kemudian dan membuat sontak mengerucutkan mulutnya dan memukulkan bantal leher
dibelakangnya pada Adrian.
Dan lagi, seperti
bernostalgia, mereka justru kembali bertengkar seperti hari – hari di tujuh
tahun lalu.
Karya : Hafidhania Penadi
0 komentar