Kubalikkan
lembar-perlembar halaman novelku, saat itu sudah tiga jam sejak adikku
tertidur. Aku tidak dapat menghentikan ini. Rasa ingin tahuku menyeruak hingga
aku mengetahui akhir dari novel ini. Yah, memang beginilah kebiasaanku. Di
kasur ini aku membaca novel yang tebalnya hampir lima sentimeter. Di sampingku,
adikku yang kelas dua SD tampak menggeliat dalam tidurnya. “Semoga mimpi indah,”
batinku disela membaca. Kembali kuteruskan membaca, sesaat aku mendengar
suara-suara aneh dari dalam dapur. Aku tidak mempedulikannya dan melanjutkan
membaca. Sudah empat perlima bagian yang telah kubaca. “Sebentar lagi selesai,”
pikirku sambil tersenyum. Kembali kudengar suara-suara aneh, tapi kali ini
bukan berasal dari dapur. Kuedarkan pandangan mataku ke arah luar kamar. Gelap, kamarku satu-satunya yang masih
menyala. Mataku terasa perih saat
mencoba memfokuskan pandanganku ke luar kamar. “Ah, sudahlah. Itu pasti suara
tikus atau kucing tetangga,” aku berusaha menenangkan diri. Suara itu terdengar
lagi. Kembali kulihat ke arah luar kamarku saat bayangan hitam tiba-tiba muncul
dan melihat ke arahku sesaat. “Apa itu!”
aku tersentak kaget. Aku berlari ke luar kamar mencari bayangan itu. Aku juga
menyalakan semua lampu agar dapat melihat sosok itu. Jantungku berdebar kencang
dan tubuhku menegang, perlahan aku berjalan ke arah pintu depan. Saat aku
mencoba membuka pintu, ternyata pintu rumah dalam keadaan terkunci. Kurasa maling sekalipun tak dapat masuk rumah
ini, tapi tadi itu apa? aku kembali mencarinya, tapi tak menemukan apa-apa.
Mataku terasa berat untuk terus mencari. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar,
jantungku masih berdebar tak karuan dan perasaanku menjadi tak enak. Adikku
masih tertidur pulas, aku duduk di sampingnya. Kulirik jam di depanku. “Jam dua
malam, pantas saja aku jadi berhalusinasi begini …”
***
“Mbak,
bangun!” teriak adikku sambil menggoyang-goyangkan badanku.
“Mbak,
banguun! nanti telat, sekarang sudah jam setengah enam.”
“Apa?”
teriakku tak percaya dengan yang apa yang kudengar. Aku langsung terbangun
meski masih terasa mengantuk dan bergegas mengambil handuk
untuk mandi.
untuk mandi.
“Hei!”
aku berteriak ketika adikku lebih dulu masuk kamar mandi.
“Siapa
cepat, dia dapat.” Kata adikku sambil tertawa tidak jelas.
“Huh,
dasar anak kecil!” umpatku
dalam hati. Aku kembali ke kamar, tak akan ku sia-siakan waktuku. Dengan cepat
aku menjadwal pelajaranku hari ini, hari Jumat, dan memasukkannya ke dalam tas.
“Bahasa Inggris, sejarah… apalagi, ya?”
aku mencoba mengingat-ingatnya karena aku tidak mempunyai jadwal pelajaran. “Ah iya, ekonomii…” aku langsung
memasukkan buku ekonomi ke dalam tas dengan malas, yah karena sebenarnya aku
memang tidak menyukai pelajaran ekonomi. Setelah selesai menata jadwal
pelajaran, aku berjalan ke kasur untuk merapikannya. Pertama, aku merapikan
bantal dan menempatkannya ke tempat semula. Lalu aku menarik selimutku, aku
merasa ada sesuatu yang jatuh. Aku melihat ke bawah dan langsung memungut benda
itu. Melihat itu aku menjadi ingat kejadian semalam, tubuhku menegang. Aku
merasa sesuatu memegang tubuhku.
“Mbak,
aku dah selesai.” Kata seseorang di belakangku. Aku membalikkan badanku, “Ternyata Zidan, huh!” Aku terkejut
sekaligus lega. Aku lalu bergegas melipat selimut dan meletakkan benda itu ke
dalam rak buku. Setelah itu aku bergegas mandi. Selesai mandi aku langsung
mempersiapkan diriku dan menyisir rambut panjangku lalu mengikatnya. Sekarang
sudah jam enam pagi, aku bergegas memakai sepatu melihat adikku yang satunya
lagi sudah menungguku di luar. Ibu telah menyiapkan sarapan, tetapi aku
memintanya untuk dijadikan bekal di sekolah.
Setelah semua siap, aku pamit berangkat sekolah kepada ibu. Aku juga
mencari ayah untuk pamit, tetapi ayah tidak ada di dalam rumah. Ternyata ayah
ada di luar sedang berbicara dengan seseorang. Aku berjalan mendekatinya dan
mendengar sedikit pembicaraan mereka.
“…bisa jatuh?” kata
seseorang.
“Kurasa karena kucing
atau anjing.” Kata ayah.
“Bagaimana bi–” orang
itu berhenti berbicara saat melihatku berjalan ke arah ayah, “Sudah mau
berangkat ya, dek?”
“Eh, emm iya, Pak!”
kataku gugup kepada orang itu yang ternyata tetangga sebelahku. Aku langsung
berpamitan dengan ayah dan tetanggaku. Di luar rumah sudah terparkir rapi
sepedaku yang tadi disiapkan Ayah. Aku langsung menaiki sepeda sembari melihat
tampang kesal adikku, Zidan, disampingku.
“Ayo berangkat, Dan!”
Kataku sambil mengayuh sepeda.
“Lama banget, sih! Nanti
aku te –”
“Iya,
maaf.” Sengaja kupotong perkataan Zidan, adikku yang sekarang kelas 3 SMP.
Kebetulan aku dan Zidan searah menuju sekolah. Tetapi aku kelas sepuluh, jadi
aku tidak satu sekolah dengannya. Hanya saja sekolahnya lebih jauh dari
sekolahku, itu yang membuatnya kesal padaku. Ia tidak mau telat sekolah, ia
malu jika diketahui teman-temannya. Maklum, ia anak populer di sekolahnya.
Tapi, yang unik darinya, ia tidak mau memakai motor ke sekolah yang menurut
orang lain keren. Ia malah memilih berangkat naik sepeda. Baginya naik sepeda
itu lebih keren dan menyehatkan. Yah, aku sendiri pun setuju Zidan naik sepeda,
bukan karena kerennya, tapi karena dia belum punya SIM. Itu juga alasannku naik
sepeda, selain itu aku bisa menikmati pemandangan indah ini dengan gratis
selama perjalanan. “Ah, ini bukan
waktunya memikirkan itu sambil melihat pemandangan. Bukan cuma Zidan yang telat
aku juga bisa telat kalau begini terus,” batinku melihat kebodohan yang
dari tadi kulakukan.
“Ayo, ngebut!” Kataku
sambil mengayuh sepeda dengan cepat. Zidan mendengus mendengarnya.
“Dari tadi aku udah
bilang itu,” Zidan mulai menyamakan kecepatannya denganku, “Ayo, lebih cepat
lagi sekarang udah jam setengah tujuh!” teriak Zidan.
Mendengar itu aku pun
mempercepat laju sepedaku lagi. Saat sampai di perempatan jalan, aku langsung
belok kiri sementara Zidan tetap lurus.
“Bye!” kataku sambil melambaikan tangan. Zidan membalasku dengan
melambaikan tangannya juga kepadaku.
***
Aku
tiba di sekolah bertepatan dengan bel masuk dan langsung bergegas memakirkan
sepeda. Setelah itu aku berjalan cepat menuju kelas. Beberapa siswa lain juga
bergegas menuju kelasnya. Di kelas aku langsung duduk dan mengelap keringatku.
Saat itu juga, bu guru datang, ketua kelas pun langsung menyiapkan kelas. Lalu,
Bu Eka, guru bahasa Inggris mulai mengabsen murid-murid.
“
… Bayu,”
“hadir, Bu!” Kata
seorang siswa yang juga ketua kelas ini , kelas 1 B.
“Nana,”
“Hadir, Bu!” Jawab
seorang siswi yang duduk di depan mejaku yang juga mengangkat tangannya.
“Dian,”
“Hadir, Bu!” Jawab
seorang siswi yang lain.
“Karina,”
“Hadir,
Bu!” Jawabku terkejut sambil mengangkat tanganku. Tak menyangka namaku
dipanggil, ternyata Bu Eka mengabsennya secara acak. Dan, yaps! benar itulah
namaku, lengkapnya Karina Ayu Mutia. Saat ini aku berumur 15 tahun. Bersekolah
di sekolah biasa, jarang bicara kecuali dengan teman dekat atau dengan
terpaksa. Karena aku lebih suka membaca buku di perpustakaan sehingga aku
kurang akrab dengan teman sekelasku.
Pelajaran
pertama, Bahasa Inggris cukup menyenangkan, teman-temanku yang lain sepertinya
juga menikmati pelajaran ini. Terutama saat seseorang temanku maju dan
menceritakan pengalamannya dalam Bahasa Inggris. Aku dan teman-temanku tertawa
melihat aksinya di depan kelas. Sebenarnya beliau pandai dalam berbahasa
Inggris, alasan mengapa aku dan teman-teman tertawa lebih dikarenakan ekspresi
beliau dalam menceritakan kisahnya bertemu dengan anjing peliharaanya, yang
menurutnya lebih indah dibanding saat beliau bertemu dengan pacarnya. Semua
siswa di kelas sontak menyorakinya, tentu saja karena beliau tidak pernah
berpacaran.
“Hei, mending pacaran
saja sana sama anjingmu!” kata Bayu jahil.
“Tidak perlu repot-repot
karena aku sudah menganggapnya sebagai pacar,” kata Rian.
“Beneran, nih?” sahut
Putri.
“Enggaklah, memangnya
aku gak ada yang mau sampai pacaran sama anjing.” Jawab Rian jengkel.
“Ya, kenapa enggak?”
tanya Angel, tampaknya ia dari tadi memperhatikan orang yang ada di depannya
itu sambil menahan tawa.
“Oh! Jadi gitu, ya?”
kata Mia, memasang wajah seriusnya. Aku tahu ini semua hanyalah bercanda.
“Iya-iya, kenapa
enggak?” timpal Lina kali ini, kondisi kelas sekarang malah makin kacau.
“Hei! Kali–”
“That’s
enough. Thanks you, Rian.” Potong Bu Eka sambil tersenyum.
Rian pun langsung kembali ke tempat duduknya. Sepertinya Bu Eka memahami
kondisi yang terjadi. Jika terus dibiarkan kurasa pembicaraan ini tidak akan
selesai.
***
Pelajaran
pertama berakhir dan aku benar-benar merasa malas pada pelajaran selanjutnya.
Temanku yang lainnya sedang asik mengobrol. Sedangkan teman sampingku ini,
Yasmin, sibuk memainkan ponselnya.
“Ngapain, Min? Kok senyum-senyum,” tanyaku memastikan aku tidak
salah lihat.
“Enggak kok, lucu aja
baca ini,” gumam Yasmin.
“Baca apa-an?” tanyaku
penasaran.
“Rahasia,
mau tahu aja!” jawab Yasmin asal-asalan. Aku mengerutkan keningku melihat
tingkah Yasmin saat ini. Tiba-tiba kelas menjadi diam, reflek aku melihat
kearah pintu. Ternyata Pak Wiharto, guru ekonomi sudah datang. Pelajaran kali ini tentang ‘’Sistem dan Alat
Pembayaran’’, aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi saat pelajaran dimulai.
Sebenarnya sejak pelajaran pertama kepalaku terasa sakit, tapi karena
pelajarannya menyenangkan rasa sakitnya tidak terlalu terasa. Sekarang kepalaku
benar-benar sakit. Aku menengok ke belakang melihat jam. Jam menunjuk pukul
delapan lebih lima belas menit. Aku menghembuskan napas panjang, tak sabar
pelajaran ini segera berakhir.
Aku
meletakkan kepalaku di atas hamburan buku-bukuku yang tergeletak pada meja. Aku
melihat ke arah luar kelas, sambil mengetuk-ngetukkan pensil, bermaksud
menghilangkan sakit kepalaku ini. Samar-samar kudengar suara Pak Wiharto
mengajar. Di luar aku melihat seseorang mengenakan pakaian aneh. Seperti kostum
yang ada di sirkus-sirkus dalam film. Ia mengenakan baju berwarna belang merah
kuning dengan sedikit rumbai berwarna putih, celana panjang berwarna biru,
sepatu coklat dengan ujung yang runcing. Dan satu lagi yang paling aneh kurasa,
yaitu topi bundar berwarna-warni. Dia berdiri di depan kelasku. Menatap dan
tersenyum kepadaku, kurasa. Dia tampak keriput dan rambutnya berwarna putih.
Tapi anehnya teman-temanku tidak menyadari kehadirannya. Sesuatu yang lembut terasa di bawah kakiku.
Aku melihat ke bawah dan ternyata seekor kucing berbulu hitam. Beberapa kali
sebelumnya kucing itu juga masuk ke kelasku. Entah aku tak tahu mengapa? Tapi
sepertinya kucing itu seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku melihat ke arah
luar kelas lagi, tapi orang itu sudah tidak ada.
“Ah, aku tertidur. Jam berapa ini?” gumamku
sendiri. Aku melihat ke arah jam, sekarang jam setengah dua belas malam. Aku
terkejut begitu mengetahuinya. “Kenapa
aku bisa tertidur selama ini? Kemana yang lainnya?” aku melihat
sekelilingku. Aku masih mengenakan seragam dan berada di kelas sendirian. Aku
tak tahu kenapa teman-temanku atau bahkan guruku, kenapa mereka tak membangunkanku?
Aku membereskan buku-bukuku dan berjalan keluar. Kelas tak terkunci, pintunya
masih terbuka. Tanpa sadar aku meneteskan air mata dan terus berjalan ke
parkiran sekolah. “Kenapa mereka setega
ini? Kenapa mereka tak membangunkanku? Aku salah apa? Kenapa begini kupikir
mereka temanku? Apakah mereka temanku?” aku terjatuh dan menangis merasakan
apa yang dilakukan teman-teman kepadaku. Aku bahkan tak tahu lagi mereka
temanku atau bukan. Aku tahu aku sering membaca sehingga jarang berbicara pada
mereka, tapi bukankah ini sudah keterlaluan.
Aku
bangun dan membersihkan air mataku dengan tangan. Malam ini sangat gelap,
lampu-lampu di sekolah hanya sedikit yang menyala. Aku meneruskan jalanku, tapi
aku merasa sesuatu yang aneh. Aku melihat ke atas langit di mana bulan dan
bintang berada, tapi tak ada satupun bulan dan bintang yang terlihat. Aku
mengerutkan kening tak mengerti, bahkan di langit yang cerah tak ada bulan dan
bintang yang menemaniku. Aku bergegas menuju parkiran sepeda mencoba tak
mempedulikan hal aneh yang menimpaku. Aku berjalan cepat melewati kelas-kelas
dan kuperhatikan tiap kelas yang kulalui. Aku tak yakin dengan apa yang
kulihat, tapi di setiap pintu kelas terdapat noda merah seperti darah. Bahkan tirai-tirai jendela yang semula berwarna
hijau menjadi merah. Di parkiran aku terkejut, ternyata tidak seperti yang
kukira. Sepedaku bukanlah satu-satunya yang ada di parkiran, masih banyak
sepeda dan motor yang terparkir. Saat mencari sepedaku aku melihat seseorang di
parkiran, wajahnya tak terlihat karena gelap. Aku berjalan mendekatinya dan
melihat sekeliling memastikan apakah ada orang lain atau tidak? Orang itu
berdiri tegak tak bergerak, tapi sepertinya ia melayang aku tak tahu pasti di
parkiran benar-benar gelap. Tiba-tiba sesuatu terlintas di pikiranku. Aku
mengambil ponselku di tas dan menyalakan
flashlight. Kemudian aku mengarahkan ponselku ke arah orang itu. Begitu
terlihat jelas wajah orang itu, aku tak bisa berpikir apa-apa. Badanku begitu
kaku, tanganku bergetar tanpa kuinginkan, dan ponselku tiba-tiba terlepas dari
genggaman. Aku tak percaya dengan yang kulihat, berkali-kali aku
mengerjap-ngerjapkan mata berharap kenyataan ini tak nyata. Namun bentuk itu
makin terlihat jelas. Orang itu adalah Dian, dia meninggal dengan tubuh yang
digantung dan pisau yang menancap di dadanya. Wajahnya pucat pasi dengan mulut
menganga dan mata terbuka terbelalak. Aku menangis tak percaya semua ini
terjadi aku bahkan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak tahu kenapa
Dian dibunuh dengan kejam seperti ini dan siapa yang membunuhnya? “Jika semua sepeda dan motor masih ada di
sini, apakah yang lainnya juga dibunuh? Apa itu sebabnya ada darah di pintu
tiap kelas? Jika itu benar-benar terjadi berarti pembunuh itu masih ada di
sini.” Aku benar-benar tak habis pikir dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba
sesosok hitam bergerak, aku langsung berlari mengejarnya. Memaksa tubuh ini
bergerak tak peduli apakah itu si pembunuh atau bukan. Aku terus mengejar sosok
itu, aku semakin mendekatinya. Sosok itu terlihat mengenakan jaket dan celana
berwarna hitam.
“Tenanglah,
akan kujawab pertanyaanmu jika kau tenang,” suaranya terdengar berat seperti
suara laki-laki. Aku menganggukkan kepala dan dia melepaskan tangannya. Aku
berbalik dan memperhatikannya ternyata sosok itu adalah seorang laki-laki
remaja. Tetapi aku belum pernah melihatnya di sekolah atau pun di rumah. Dia
lebih tinggi dariku, aku mencoba mengingat-ingat apakah aku mengenalnya atau
tidak? “aku bukan siapa-siapa, kau tak mengenalku. Cepat katakan apa yang ingin
kau tanyakan.” Katanya membaca pikiranku.
“Oh, umm a… apa kamu
yang membunuh temanku Dian? Apa temanku yang lainnya juga kamu bunuh?” aku
berusaha tidak menangis, tetapi bayang-bayang Dian terus berputar di kepalaku.
“Bukan aku yang membunuh
Dian dan temanmu yang lain sepertinya juga terbunuh.” Kata laki-laki itu dengan
tenang tak peduli kegelisahanku.
“Si… siapa yang membunuh
teman-temanku, kenapa ia melakukannya?” tanyaku terisak aku sudah tak tahan
lagi.
“Aku tak dapat menjawab
pertanyaanmu itu. Tapi, aku dapat mengatakan apa yang terjadi, jadi tenanglah
jangan menangis.” Katanya lembut sambil mengusap air mataku. Aku mengangguk dan
menenangkan diriku.
“Baikklah, jadi
sebenarnya apa yang telah terjadi?” kataku tak sabar.
“Pikirkan dan dengarkan
ini baik-baik aku tak akan mengulanginya, waktuku tak lama lagi. Apakah tidak
aneh jika di langit di mana bulan dan bintang berada tidak ada? Coba kau lihat
tak ada awan sama sekali, tapi tak ada satupun bulan dan bintang yang terlihat.
Pikirkanlah nanti kau dapat mengerti apa yang terjadi. Kau tadi juga sempat
menyadarinya, kan?” Katanya sambil menunjuk ke langit.
“Kenapa kamu tidak
langsung menjelaskan apa yang terjadi? Dan kenapa harus teka-teki?” aku
benar-benar tak mengerti di situasi seperti ini dia malah memberiku sesuatu
yang harus kutebak.
“Karena dengan begitu
kau dapat memahami apa yang terjadi.” Katanya pelan.
Seketika
orang itu menghilang entah kemana begitu mengatakannya. Dan aku entah mengapa
berdiri di depan kelasku sendiri. “Apa
yang sebenarnya terjadi?” aku ragu apakah aku harus masuk atau tidak?
Tetapi aku mendengar sesuatu dari dalam kelas jadi aku memutuskan masuk ke
dalam. Kelas tertutup, aneh padahal tadi masih terbuka. Tanganku bergetar
perlahan-lahan aku menggerakkan tanganku dan mencoba membuka pintu kelas.
Dengan tanganku yang kiriku terkepal erat aku mendorong pintu dengan tanganku
yang lain. Pintu terbuka, di kelas sangat gelap aku tidak dapat melihat apapun.
Beruntung aku sempat mengambil ponselku sebelum berlari mengejar pemuda tadi.
Aku mulai menyoroti sudut penjuru kelasdan berjalan memasukinya. Aku
berkeliling kelas sambil terus berpikir perkataan pemuda tadi meski pikiranku
terasa kacau. Lalu aku melihat seseorang memakai jubah berdiri membelakangiku.
Orang itu tampak memegang pisau dan berbalik kearahku begitu aku meyorotinya.
Aku yakin dia pembunuhnya, tapi aku tak yakin siapa orang yang ada di hadapanku
wajahnya familiar denganku. Mirip denganku, benar-benar mirip, aku yang berdiri
di sana mengenakan jubah sambil membawa pisau. Aku diam beku begitu orang itu
berjalan mendekatiku.
“Ke… kenapa kamu
membunuh teman-temanku? Kenapa?” teriakku sambil menahan air mata.
“Seharusnya kamu tahu,
kenapa. Aku adalah kamu. Apa kamu sudah membaca pesanku di tubuh Dian?” jawab
orang itu sambil tertawa.
“Aku bukan kamu. Jangan
menipuku dasar pembunuh! Dan pesan apa yang kamu maksud?” lagi-lagi hal yang
tidak kumengerti, aku sudah sangat muak.
“Apa kamu lupa kejadian
saat itu,” katanya sambil memegang bahuku. “Dian si busuk itu, dia membiarkanmu
begitu saja melihat kamu jatuh dari sepeda. Padahal ia melihatnya dan ia malah
menertawakanmu, bukan begitu? Aku sengaja menulis penghianat di kertas itu
karena sebagai teman ia malah melakukan itu. Jadi aku membunuhnya dan itu juga
yang kamu inginkan, bukan?”
“Kamu salah, Dian nggak
pernah seperti itu. Dia tidak melihatku. Dan apa hanya karena ini kamu
membunuhnya? Dasar pembunuh kejam!”
“Dia bahkan tak
menganggapmu sebagai teman dan temanmu yang lainnya pun juga begitu. Aku bukan
pembunuh kejam, aku adalah kamu. Satu lagi, kamu sendiri juga tidak pernah
menganggap mereka sebagai teman. Bagimu mereka adalah pengganggu di saat kamu
membaca, benar begitu?” sosok itu kembali tertawa begitu melihatku pucat.
“Se… sebenarnya siapa
kamu? A… aku selalu merasa mereka teman-temanku. Dan ucapanmu salah.” Aku
tergagap mengatakannya, tak mengerti juga ia bisa mengetahuinya.
“Aku tahu segalanya
karena aku adalah kamu, dan kamu masih menganggap mereka teman? Bahkan setelah
mereka melakukan hal-hal yang menyakiti hatimu. Di kelas saat kamu sakit tak
ada yang menanyakan kondisimu. Bahkan teman semejamu pun tidak. Lalu, saat
pelajaran olahraga tidak ada yang mau menjadi pasanganmu padahal jumlah siswa
genap. Lalu– ”
“Sudah cukup, hentikan!
Aku tak peduli seperti apa yang mereka lakukan padaku. Aku tetap menganggap
mereka temanku. Aku sangat bahagia saat mereka dekat denganku, bersamaku. Tapi
apa yang kamu lakukan, kamu membunuh teman-temanku. Pembunuuh!” Teriakku tak
tahan.
“Kamu tidak mengerti apa
yang kukatakan, ya? Sekarang aku tak peduli lagi kamu itu aku atau bukan.
Sekarang aku akan membunuhmu. Ha Ha Ha.” Kata sosok itu sambil tertawa.
“A… apa?” aku bergerak
mundur ketakutan, sementara sosok itu mulai mendekatiku dan mengarahkan
pisaunya ke arahku. Aku kembali memikirkan apa yang dikatakan pemuda tadi.
Sosok itu semakin dekat aku tak dapat bergerak mundur dan pintu kelas tiba-tiba
saja tertutup. Sosok itu mengarahkan pisaunya ke wajahku dengan cepat, aku
sekarang mengerti apa maksud pemuda tadi dan tersenyum senang.
***
“Ah, aku tertidur. Jam
berapa ini?” kataku sambil mengusap mataku.
“Eh, sekarang jam
setengah sembilan. Kamu tidur ya, Rin?” goda Yasmin.
“Emm, iya. He he he,”
aku menggaruk kepalaku meski tak gatal. “Ngomong-ngomong, Pak Wiharto kemana?
Kok gak kelihatan,” tanyaku bingung.
“Pak Wiharto tadi
pulang, katanya ada urusan. Pelajaran sekarang diganti sama sejarah. Eh,
katanya gurunya baru, lho!” Kata Yasmin berbinar-binar.
“Hah!
Beneran?” kataku memastikan, Yasmin hanya menganggukan kepalanya sambil
tersenyum. Entah mengapa sekarang aku merasa lega. Suatu perasaan aneh begitu
aku terbangun. Mimpi dalam tidur singkatku tadi tidak dapat kuingat, namun aku
senang kepalaku tak terasa sakit lagi. Lalu datang seseorang ke dalam kelasku.
Aku ragu apa aku pernah melihatnya, tapi sepertinya aku pernah melihatnya
“Perkenalkan
saya adalah guru baru kalian. Nama bapak Nicholas Van Der Toon, saya mengajar
sejarah.” Kata bapak itu sambil tersenyum. Aku memperhatikan baik-baik bapak
itu, ia mengenakan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi berbentuk pita.
Sesuatu yang sangat formal untuk dipakai seorang guru SMA. Kemudian ia
mengenakan celana panjang berwarna hitam dan memakai sepatu coklat dengan
ujungnya yang runcing. Aku melihat wajahnya, ia agak keriput dan rambutnya
berwarna putih ia juga memiliki janggut panjang dan kulihat sekarang ia
tersenyum padaku. Aku yakin kalau aku pernah melihatnya sebelumnya.
***
Hari
Senin kegiatan study wisata kelas
sepuluh diadakan. Aku dan teman sekelasku satu bus, begitu pengumumannya saat
busnya tiba. Sebelumnya kami tak satu bus, namun tiba-tiba muncul pemberitahuan
ini. Dan guru pembimbing kami adalah Pak Nicholas guru baru kami. Aku duduk di
samping Dian, sesuai yang telah ditentukan. Perjalanan menuju lokasi kira-kira
membutuhkan waktu 3 jam. Aku mengambil novelku berniat membaca, namun sebelum
sempat membaca, novel itu sudah berada di tangan Dian. Aku mendengus kesal dan
melihat Dian membuka-buka novelku.
“Tadi
kamu cerita tentang Pak Nicholas yang menurutmu aneh dan mimpimu di hari jumat
aku mati terbunuh dan ternyata kamu yang bunuh aku, ya kan?” kata Dian
tiba-tiba mengulang ceritaku tadi. Aku memang menceritakannya ke Dian, tapi aku
tak mengerti mengapa Dian bertanya itu.
“Ya, kenapa?” aku
penasaran kenapa Dian tiba-tiba begini.
“Kamu masih merasa aneh
sama Pak Nicholas, Rin?” tanya Dian mengangkat sebelah alisnya.
"Oh, umm..."
aku memikirkan perkataan Dian sambil melihat ke arah Pak Nicholas yang sedang
membaca koran, pakaiannya masih sangat formal untuk kegiatan di luar
sekolah. Benar, lagi-lagi jas yang ia
pakai, berbeda dengan guru lain yang berkemeja. “Ya dia memang aneh,” kataku
akhirnya.
“Baca buku ini lagi, deh! Kamu kebanyakan baca, sih. Jadi
menganggap nyata cerita, kan akhirnya.” Dian menggeleng-gelengkan kepalanya tak
percaya sambil melihat ke arahku dan memberikan kembali novelku.
Aku
tak mengerti. Aku kemudian mengambilnya dan membaca novelku lagi. Aku memang
belum selesai membacanya sejak Jumat. Dan setelah selesai membaca aku mengerti
ucapan Dian, novelku bercerita tentang kehidupan pesirkus sang pembunuh yang
terjebak dalam mimpinya.
Karya : Salma Azizah